TEORI-TEORI BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN

Seperti kita ketahui bersama bahwa banyak Teori Belajar yang berkembang dengan berbagai pandangan dan pemikiran yang berbeda dalam menjelaskan bagaimana manusia belajar. Semua teori belajar tersebut memberikan sumbangan penjelasan kepada kita tentang bagaimana siswa belajar. Dengan mensitesakan apa yang kita ketahui tentang berbagai teori tersebut kita akan dapat membangun pemahaman yang lebih kuat tentang apa saja yang diperlukan dalam pembelajaran siswa di sekolah.

Setiap teori pembelajaran memiliki sesuatu untuk disumbangkan. Teori-teori tersebut bersama-sama memberikan penjelasan yang komprehensif tentang apa yang diperlukan untuk belajar. Bagaimanakah teori-teori tersebut dapat disintesiskan?.

Kali ini kita akan membahas satu per satu teori-teori utama pembelajaran dalam kaitannya dengan pembelajaran di sekolah. Berikut sedikit ringkasan tentang teori-teori tersebut.

Teori Behaviorisme

Karena Behaviourisme lebih terkait dengan produk atau hasil dan bukan proses belajar, maka memiliki fokus yang berbeda dari pembelajaran formal. Behaviourisme adalah tentang belajar perilaku tertentu, dan memberitahu kita bahwa perilaku tersebut dapat dimanipulasi melalui “operant conditioning” tanpa perlu memahami bagaimana mekanisme pembelajaran bekerja.

Behaviorisme sangat bermanfaat dalam menjelaskan pelaksanaan pendidikan hanya sampai batas tertentu. Tetapi para guru tidak bisa menganggap Behaviorisme ini sebagai hal yang tidak relevan untuk digunakan. Kita tentu saja sering  menggunakan nilai, ranking, kualifikasi, dan penghargaan sebagai hadiah untuk memotivasi siswa agar tetap fokus belajar.

Ketika skor ujian dan peringkat (ranking) menjadi tujuan utama, maka tidak menjadi masalah bagaimana nilai itu dicapai. Jika siswa menggunakan mekanisme menghafal dan menirukan untuk lulus ujian dengan, itu sudah cukup. Tetapi pembelajaran formal memiliki tujuan yang lebih tinggi dari sekadar nilai bukan?.

Tujuan pendidikan formal secara umum adalah untuk membantu siswa menjadi mandiri, percaya diri dengan apa yang mereka ketahui dan bertanggung jawab atas bagaimana mereka mengetahuinya. Untuk dapat melakukan ini, guru harus mampu menemukan dan menentukan pendekatan yang tepat untuk proses mengetahui, dan apa saja yang terkait dengan kebutuhan untuk mengetahui. Behaviorisme tidak membantu kita dalam hal ini.

Behaviorisme juga tidak membantu bagaimana siswa dapat memecahkan masalah-masalah yang belum mereka ketahui sebelumnya. Siswa akan kesulitan menghadapi soal-soal bertipe HOTS (Higher Order Thinking Skills). Nah, jika kita menghadapi siswa yang seperti ini, kita perlu melihat ke belakang. Jangan-jangan pendekatan pembelajaran yang kita lakukan terlalu behavioris.

Teori Pembelajaran Asosiatif

Tokoh utama Pembelajaran asosiatif adalah Pavlov dan Thorndike, mereka memang banyak menyelidiki proses belajar sebagai mekanisme fisiologis. Eksperimen terkenal dengan sebutan “Anjing Pavlov” memberi tahu kita bahwa ketika stimulus, seperti suara, dialami sebelum tujuan yang diinginkan, seperti makanan, maka otak belajar untuk mengaitkan suara dengan konsekuensi yang diharapkan, yang mengarah pada respon terkondisi dari mengeluarkan air liur. Proses serupa mengarah pada tindakan yang dipelajari untuk mencapai tujuan.

Kucing ekperimen yang disebut “Kucing Thorndike” dapat belajar menarik tali untuk mengakses makanan melalui coba-coba, setelah mencoba banyak perilaku lain, seperti menggaruk, menggigit, dan meremas. Ketika secara tidak sengaja menarik tali, yang akhirnya menjadi tindakan yang mungkin untuk diulang pada uji coba berikutnya, dan menjadi tindakan yang dipelajari untuk mencapai tujuan.

Konsep “koneksionisme” lebih berguna daripada “pengkondisian operan” karena ia menawarkan konsep proses pembelajaran daripada sekedar hasil. Proses belajar trial-and-error memungkinkan pembelajaran asosiatif menjadi dasar model jaringan saraf yang berhasil memodelkan fenomena seperti belajar mengenali gambar yang berbeda, atau untuk membedakan suara.

Koneksionisme memiliki relevansi yang jelas dengan pendidikan pada tahun-tahun awal belajar keterampilan dasar sebagaimana pendidikan masa anak-anak. Pemahaman tentang bagaimana otak belajar untuk mencapai keterampilan ini secara efisien dapat membantu kita membuat urutan tugas yang optimal untuk memberikan pedagogi pengajaran membaca dan berhitung pada siswa kelas dasar.

Konsep koneksionisme juga membantu kita memahami siswa dewasa dengan kesulitan belajar. Model pembelajaran asosiatif dapat memberi kita pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana membantu siswa pada proses pembelajaran yang tidak otomatis bagi mereka.

Teori Pembelajaran Kognitif

Sanggahan utama terhadap pendekatan behavioris dimulai oleh psikolog Gestalt yang menekankan pentingnya pendekatan kognitif yang akan menjelaskan lebih baik tentang keberhasilan pembelajaran asosiatif. Bagaimana bisa coba-coba saja sudah cukup sebagai mekanisme? Mengapa kucing lebih cenderung menarik tali pada percobaan selanjutnya? Mereka menjelaskan hal ini dengan berpendapat bahwa siswa menggunakan keberhasilan untuk berpikir secara berbeda tentang situasi: untuk membuat reorganisasi struktural yang holistik terhadapnya yang memungkinkan hubungan dibuat antara tindakan dan konsekuensinya.

Ilmuwan saraf modern menjawab pertanyaan yang sama dengan berpendapat bahwa koneksi jalur saraf menguat sebagai respons terhadap keberhasilan tindakan percobaan acak, sehingga kemungkinan jalur yang sama akan terhubung ketika situasi yang sama terjadi kembali.

Psikolog Gestalt memperluas gagasan reorganisasi struktural untuk fokus pada pentingnya kebermaknaan bagi siswa. Ini bukan mekanisme saraf yang tidak disadari, tetapi suatu proses sadar yang memungkinkan siswa untuk memahami hubungan antara tujuan, tindakan, dan hasil.

Pendekatan pembelajaran semacam ini memiliki lebih banyak hal untuk ditawarkan dalam pengajaran. Wertheimer menerapkan pendekatan struktural untuk mengajar, dan mampu menawarkan rekomendasi eksplisit. Misalnya, cara untuk menghitung luas persegi panjang tidak boleh diajarkan secara langsung. Siswa harus diberi masalah yang berarti untuk dipecahkan, seperti mencari petani mana yang memiliki lahan lebih luas, sebagai bagian dari mana mereka dapat menemukan, atau dibantu untuk menemukan, cara untuk menentukan masing-masing bidang lahan. Hal ini memungkinkan siswa untuk membangun organisasi struktural mereka sendiri dari situasi di mana jalur solusi menjadi jelas.

Teori Pembelajaran Pengalaman

Dewey dan Wertheimer berpendapat bahwa siswa memiliki pengorganisasian sendiri dalam memahami situasi masalah. Mereka dapat mengembangkan pengetahuan baru melalui kurikulum, seperti yang mereka lakukan dalam pembelajaran informal tentang dunia yang tidak mereka pelajari.

Pendidikan harus menyediakan bahan agar siswa bisa belajar melalui pengalamannya sendiri. Tidak peduli berapa usia atau di tahap apa mereka, siswa akan terus mengembangkan pengetahuan mereka melalui upaya untuk bekerja melalui masalah dalam pengalaman realistis yang melibatkan “pembentukan ide, bertindak atas ide, pengamatan kondisi yang dihasilkan, dan pengorganisasian fakta dan ide untuk digunakan di masa depan.

Fakta-fakta dan ide-ide baru ini membentuk dasar pengalaman lebih lanjut di mana guru dapat menyajikan masalah baru, untuk dipecahkan dengan cara yang sama, proses menjadi spiral terus menerus membimbing siswa melalui kurikulum yang terus berkembang dari domain itu. Tugas guru adalah memplot urutan yang sesuai dari masalah pengalaman realistis bagi siswa mereka.

Bisakah siswa melakukannya tanpa guru? Otak telah berkembang untuk belajar melalui peniruan, dalam arti bahwa persepsi kita tentang suatu tindakan memicu pola aktivitas otak di area motor yang sama yang akan mengendalikan tindakan itu sendiri. Untuk tugas-tugas sederhana, seperti membalik halaman buku, manusia sangat pandai belajar melalui peniruan tanpa bantuan guru. Untuk kegiatan kompleks seperti membaca, kita perlu bantuan, dan tugas guru adalah mencari cara mendekonstruksi kegiatan sehingga siswa menjadi sadar akan apa yang penting untuk mencapai tujuan.

Teori Pembelajaran Konstruktivisme Sosial

Belajar terjadi secara otomatis di otak sehingga kemampuan individu bisa berkembang. Tetapi keterampilan dan pengetahuan yang telah dikembangkan oleh individu lain, harus dipelajari melalui peniruan, penemuan, atau komunikasi. Peniruan menjadi sulit ketika kerumitan aktivitas ahli tidak mengungkapkannya kepada pemula.

Penemuan akan lambat jika kita masing-masing harus merekapitulasi karya jutaan orang yang telah berkontribusi pada akumulasi pengetahuan manusia. Untungnya, kita memiliki komunikasi melalui bahasa yang dapat mengekspresikan ide-ide kompleks. Dewey dan Vygotsky mungkin adalah ahli teori pendidikan pertama yang menekankan peran bahasa dan interaksi sosial dalam pengembangan dan pembelajaran.

Menurut Dewey, pendidikan adalah proses sosial dalam arti bahwa individu dibudayakan melalui interaksi sosial, yang dalam masyarakat atau kelompok demokratis akan bertujuan untuk berbagai kepentingan bersama, untuk melindungi individu, daripada untuk mempertahankan kepercayaan dan kebiasaan mereka.

Menurtu Vygotsky, peran bahasa sebagai dasar pemikiran, memungkinkan suatu proses “pergerakan terus-menerus dari pikiran ke kata, dan dari kata ke pikiran” yang merupakan aspek dari perkembangan kognitif. Dia lebih lanjut berpendapat, dalam pendekatan yang disebut “konstruktivisme sosial”, bahwa belajar melalui diskusi adalah penting, dan berbeda dari belajar melalui praktik, karena tindakan mengartikulasikan ide itu sendiri merupakan kontribusi untuk apa mengetahui ide itu.

Ketika siswa berdiskusi dengan guru mereka, serta dengan sesama siswa, mereka mengembangkan ide-ide mereka dengan cara yang berbeda dari pembelajaran yang mereka lakukan melalui latihan dan pengalaman. Pertukaran mungkin tidak selalu sama atau seimbang, tetapi siswa yang kurang berpengalaman dimungkinkan untuk pindah ke “zona perkembangan proksimal” mereka, yaitu tingkat perkembangan yang tidak dapat mereka capai sendiri, tetapi itu masih dalam kemampuan mereka.

Gagasan yang sama tentang iterasi berkelanjutan diuraikan oleh ahli saraf kognitif tentang bagaimana otak belajar melalui komunikasi. Untuk mempelajari benda-benda di dunia, otak membuat prediksi tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, dan menggunakan kesalahan untuk memperbaiki prediksi hingga memiliki model yang baik.

Teori Pembelajaran Konseptual

Dalam pendidikan formal, proses membangun “organisasi fakta dan ide” yang tepat, yaitu pengetahuan, adalah tugas yang berat bagi siswa karena konteksnya sangat berbeda dari dunia fisik dan sosial yang diadaptasikan untuk pembelajaran mereka. Fakta dan ide yang dipertanyakan tidak dibangun dari tujuan dan tindakan siswa, tetapi dibangun oleh para sarjana dan pakar selama bertahun-tahun melalui studi yang cermat.

Hal inilah yang diabaikan oleh para ahli konstruktivisme, dimana mereka beranggapan bahwa “pengetahuan berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya” tanpa ada masalah. Pandangan ini seakan-akan mengabaikan semua usaha siswa dan guru. Faktanya siswa di sekolah akan mempelajari fakta-fakta dan ide-ide kompleks dan asing yang datang dari pikiran orang lain. Bahkan ahli teori pendidikan, seperti yang telah kita lihat, lebih suka mengandalkan pembelajaran pengalaman dan upaya siswa untuk mengartikulasikan ide. Tetapi dalam pendidikan formal, terutama di mana konsep dikembangkan oleh para ahli, kita perlu memahami bagaimana siswa dapat belajar melalui komunikasi dengan guru.

Struktur Pembedaan (Discerning Structure)

Salah satu ide yang paling berpengaruh tentang bagaimana siswa belajar dalam proses pembelajaran di sekolah adalah dikotomi dari dua pendekatan berbeda yang disebut sebagai “pemrosesan tingkat dalam dan tingkat permukaan”, berasal dari mempelajari bagaimana siswa membaca teks.

Pandangan ini didasari dari bagaimana cara siswa mempelajari ide-ide orang lain melalui membaca teks dan mendengarkan ceramah, serta bagaimana mereka mengonseptualisasikan apa yang mereka pelajari sebagai hasilnya. Temuan umum dalam penelitian bidang ini adalah bahwa beberapa siswa memahami wacana dengan cara yang mendistorsi makna, sehingga komunikasi gagal. Hanya ketika siswa menyadari tingkat struktural yang berbeda dalam sebuah teks mereka dapat menafsirkan dan membedakan makna yang dimaksud.

Perbedaan kualitatif dalam pendekatan membaca atau mendengarkan ceramah menyebabkan perbedaan tingkat kompleksitas dalam ringkasan. Tanpa secara akurat membedakan struktur teks siswa mendistorsi makna dan berakhir dengan struktur konseptual yang salah. Penelitian ini membantu menjelaskan pentingnya “pembelajaran yang bermakna” yang dilakukan siswa untuk diri mereka sendiri secara informal, di luar pengalaman sekolah mereka. Ini juga menjelaskan mengapa “pembelajaran hafalan” sering tidak efektif.

Jika guru sadar akan kemungkinan kesalahpahaman yang mungkin terjadi, mereka dapat mengantisipasinya dengan menjelaskan suatu topik, atau mengetahui kemampuan siswa menafsirkan suatu topik, dan kemudian menyesuaikan penjelasan atau cara penyampaian pada siswa.

Membangun Konsep dan Mengatasi Kesalahpahaman

Bagaimana konsepsi dikembangkan dan kesalahpahaman diubah?. Penafsiran yang benar memiliki struktur logis yang lebih kompleks, dan untuk membedakannya membutuhkan kegiatan kognitif yang terlibat dalam pendekatan mendalam untuk belajar, yang didefinisikan sebagai:

  • mencari makna;
  • melihat gambaran luas;
  • menghubungkan ide-ide dengan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya;
  • mencari pola dan prinsip yang mendasarinya;
  • memeriksa bukti dan menghubungkannya dengan simpulan;
  • memeriksa logika dan argumen dengan hati-hati dan kritis;
  • memantau pemahaman seiring dengan kemajuan pembelajaran;
  • terlibat dengan ide-ide dan menikmati tantangan intelektual.

Ini adalah kegiatan kognitif yang menguraikan apa yang dibutuhkan untuk belajar melalui komunikasi.

Hanya ketika siswa menyadari perbedaan tingkat struktural dalam sebuah teks yang dapat mereka baca sebagaimana dimaksudkan untuk dibaca, dan membedakan pesan yang dimaksud. Beberapa siswa menganggap teks sebagai struktur hierarkis, sedangkan yang lain “mendatar” dan karena itu mendistorsi maknanya.

Sebaiknya fitur teks dirancang untuk membedakan strukturnya agar tidak terlewatkan oleh beberapa siswa. Jika judul, subjudul, frasa penghubung, dan penanda struktur lainnya tidak ada atau terlalu halus, maka siswa cenderung tidak melihat struktur tersebut sehingga susah mencerna makna yang dimaksudkan.

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa “struktur cerdas/discerning structure” penting adanya, karena konsep formal dan teks pengajaran memiliki struktur internal yang kompleks, dan dengan mendistorsi struktur mereka, siswa akan mengubah makna mereka, dan gagal mencapai hasil belajar yang diinginkan. Karena itu strategi pengajaran yang efektif harus:

  • memperjelas struktur internal konsep;
  • memperjelas struktur internal teks;
  • membekali siswa dengan keterampilan membedakan struktur konsep atau teks apa pun.

Menafsirkan Bentuk Representasi

Banyak konsep dan sistem konsep yang dihadapi siswa dalam studi akademis, bentuk-bentuk representasi yang mereka gunakan, apakah itu istilah khusus, simbol, notasi, diagram, atau grafik, sering mempersulit siswa dalam memahami teks. Representasi formal ini membantu kognitif menyuguhkan tantangan interpretatif lain untuk siswa pemula.

Representasi formal dapat dengan mudah menciptakan hambatan pemahaman. Ini terkait  dengan tugas-tugas kognitif yang otomatis harus dipahami terlebih dahulu sebelum mempelajari sesuatu dari represntasi ini. Oleh karena itu dalam membuat representasi harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya:

  • bentuk representasi;
  • hubungan antara representasi dan domain;
  • bagaimana memilih representasi yang sesuai;
  • bagaimana membangun representasi yang tepat.

Ini adalah proses pembelajaran tambahan yang harus dilakukan sebelum mendapatkan akses ke ide-ide dan konsep-konsep yang dimediasi oleh representasi formal. Sementara para siswa juga mencoba untuk melihat struktur dan makna dari apa diungkapkan. Untuk tingkat tertentu siswa harus sudah memiliki beberapa pemahaman tentang konsep untuk dapat memahami representasi.

Organisasi struktural holistik untuk konsep-konsep ini hanya dapat diketahui sepenuhnya melalui proses berulang yang secara bertahap memperkuat hubungan yang tepat, yaitu yang membuat struktur konseptual bermakna. Membaca dan mendengarkan tidak cukup. Proses aktif yang terlibat dalam “pendekatan mendalam” untuk belajar diperlukan, baik difasilitasi oleh guru, atau disumbangkan oleh siswa.

Teori Belajar Konstruksionisme

Mulai Dewey dan seterusnya, teori belajar dan instruksional, tidak peduli apa fokus disiplin mereka, dengan suara bulat menekankan pentingnya belajar melalui pengalaman, belajar melalui praktik, learning by doing, belajar dengan mengkonstruksi, atau pembelajaran situasi. Semua bentuk pembelajaran melalui praktik memerlukan lingkungan praktik yang memiliki sifat keterjangkauan, sehingga “microworld” adalah ide yang signifikan untuk dimanfaatkan.

Meskipun relatif kurang dieksploitasi dalam literatur pembelajaran. Sebuah microworld yang memberikan konstruksi sebuah konsep memberi lebih banyak struktur pada ide dasar belajar berdasarkan pengalaman, dan ini bisa membantu dalam mengatasi masalah membuat pembelajaran konseptual yang kompleks lebih dapat dipahami oleh siswa.

Mengkonstruksi

Fokus “mengkonstruksi” yaitu menyelaraskan dengan gagasan konstruktivisme sosial, di mana konstruk dikembangkan melalui bahasa. Sifat melakukan dalam “learning by doing” tergantung pada disiplin, tetapi dalam semua kasus anggapannya adalah bahwa menghasilkan tindakan dalam mencapai tujuan konseptual membantu siswa untuk membangun pengalaman mereka tentang dunia akademik.

Disebut “konstruksionisme” karena tindakan membangun sesuatu. Konstruktivisme sosial menyangkut kasus khusus ketika produksi terbuka adalah artikulasi ide, meskipun peran umpan balik pada pengembangan ide biasanya tidak dibahas.

Gagasan konstruksionisme menjadi khas karena bahwa siswa belajar lebih dalam karena tindakan yang mereka ambil untuk menghasilkan sesuatu. Menghasilkan hasil yang memberi umpan balik informasi tentang bagaimana meningkatkan tindakan mereka selanjutnya.

Jenis Umpan Balik

Kita harus membedakan dua jenis umpan balik yang tersirat dalam diskusi konstruksi. Meskipun keduanya formatif, karena umpan balik ini digunakan untuk “membentuk” tindakan siswa, keduanya secara eksplisit berbeda jenis. Umpan balik dari lingkungan dan umpan balik dari guru memainkan peran yang berbeda-beda dalam pembelajaran:

  • Umpan balik “intrinsik” bersifat internal terhadap tindakan; yaitu bentuk konsekuensi alami atau otentik dari tindakan dalam kaitannya dengan tujuan yang dimaksudkan, dari mana siswa dapat mencari cara untuk meningkatkan tindakan mereka tanpa intervensi guru.
  • Umpan balik “ekstrinsik” adalah eksternal dari tindakan; yaitu bentuk komentar evaluatif pada tindakan, atau panduan yang dapat diikuti siswa untuk meningkatkan tindakan mereka sehubungan dengan tujuan yang dimaksud.

Contoh dari umpan balik intrinsik sangat banyak dalam kehidupan kita sehari-hari. Setiap kali kita menggerakkan mouse, dan menyesuaikan gerakan dengan manifestasinya di layar. Umpan balik ekstrinsik bisa berupa komentar eksternal tentang benar atau salah, evaluasi teknis, atau saran tentang cara meningkatkan.

Umpan balik ekstrinsik berpotensi lebih efisien daripada umpan balik intrinsik, karena umpan balik membimbing siswa menuju jawaban yang optimal. Tetapi jika bimbingan terlalu membantu, itu menghentikan siswa melakukan refleksi aktif mereka sendiri.

Teori Pembelajaran Kolaboratif

Kolaborasi antara siswa sebagai proses pembelajaran menambah gagasan konstruktivisme sosial dengan gagasan pengalaman belajar yang membutuhkan siswa untuk menghasilkan output dengan bertindak pada dunia dalam beberapa cara. Ia menuntut lebih dari diskusi, argumen, pertanyaan dan jawaban: ia juga menuntut konsensus kelompok untuk menghasilkan suatu hasil.

Luaran dapat mewakili dalam banyak cara apa yang mereka ketahui saat ini: sebagai esai, laporan, desain, diagram, analisis, presentasi, kinerja, bukti, produk media, rekomendasi – bisa banyak hal, tergantung pada sifat dari hasil pembelajaran yang diwakili.

Kolaborasi kelompok bekerja menuju titik akhir yang jelas, atau luaran dalam bentuk pemahaman bersama yang mengharuskan siswa untuk menghadapi perbedaan atau kontradiksi dalam diskusi mereka. Dalam diskusi kelompok, sering kali mungkin untuk melepaskan diri dengan bahasa yang tidak tepat untuk menyamarkan atau mengurangi perbedaan dalam konsepsi, sedangkan membangun keluaran yang disepakati – seperti komunike bersama atau representasi visual umum – menuntut negosiasi, penjelasan, proses regulasi, argumentasi, dan resolusi konflik, yang pada gilirannya mengharuskan setiap siswa merefleksikan ide-ide yang lain untuk mengkritik atau memperluasnya, dan pada mereka sendiri untuk mempertahankan atau.

Efek yang sama dapat terjadi dalam pembelajaran melalui diskusi, di mana siswa harus mengartikulasikan ide mereka, yang diakui oleh Vygotsky sebagai sesuatu yang berharga dalam pembelajaran itu sendiri. Setiap siswa dapat didorong oleh rekan-rekan mereka untuk menguraikan dan mempertahankan ide mereka sampai mereka semua mencapai pemahaman yang lebih baik. Tetapi ini membutuhkan beberapa keterampilan, keterampilan yang tidak sering kita ajarkan, meskipun itu bisa diajarkan.

Kelompok diskusi mungkin tidak bertindak sebagai cara sosial membangun konsep dan sering memungkinkan setiap anggota untuk menjaga konstruksi pribadi mereka saat ini tidak tertandingi. Memproduksi ide yang diartikulasikan memerlukan beberapa refleksi oleh siswa, tetapi di sana prosesnya berhenti. Dalam diskusi saja seorang rekan siswa mungkin tidak ingin menantang apa yang mereka katakan, tetapi jika mereka masing-masing harus menghasilkan output dan kemudian berkolaborasi untuk membangun produk eksternal yang disepakati dan dibagikan, ini memotivasi negosiasi setidaknya, yang kemungkinan akan mendorong refleksi lebih lanjut dan reorganisasi konstruksi awal setiap siswa. Dalam hal itu, pembelajaran kolaboratif melibatkan konstruktivisme sosial dan pembelajaran pengalaman. Ini adalah bentuk pembelajaran yang kuat.

Prinsip Pembelajaran Yang Penting

Teori belajar dan pembelajaran apapun yang kita gunakan, kita harus memegang tiga prinsip utama pembelajaran. Sebab tiga prinsip inilah yang akan menentukan bagaimana pembelajaran yang kita lakukan berkualitas atau tidak. Ketiga prinsip ini harus hadir dalam setiap pendekatan pembelajaran. Ketiga prinsip itu adalah:

%%footer%%