Perbedaan antara Google Scholar, Scopus, dan WoS

Saat ini ada tiga pengindeks sitasi paling terkenal di dunia publikasi ilmiah yaitu Google Scholar, Scopus, dan WoS. Selain sama-sama pengindeks dokumen ilmiah, tentunya ketiga pengindeks ini mempunyai banyak perbedaan terutama dalam ukuran dan cakupan. Google Scholar diperkirakan mencakup sekitar 160 juta dokumen pada 2014, dibandingkan dengan 60 juta di Scopus dan 55 juta di WoS. Namun, Google Scholar tidak memiliki kedalaman historis, karena Google hanya mengindeks dokumen yang tersedia secara online. Data berkualitas tinggi dalam Scopus juga terbatas pada artikel kontemporer (baru), karena mereka hanya mengindeks penulis dan afiliasi sejak tahun 1996 dan seterusnya. WoS memiliki kedalaman historis paling baik karena menyediakan pengindeksan dari tahun 1900 hingga saat ini, meskipun data dari awal abad kedua puluh relatif jarang.

Dalam hal judul, hampir semua item sumber dari WoS juga dapat ditemukan di Scopus. Lebih khusus, Scopus memiliki cakupan yang lebih luas dari ilmu-ilmu sosial, seni, dan humaniora daripada WoS yang cakupan disiplin ilmunya tetap stabil atau bahkan menurun dari waktu ke waktu. Scopus telah membuat lebih banyak komitmen untuk mengindeks artikel-artikel di bidang seni dan humaniora, walaupun sempat kurang memperhatikan dalam rilis pertamanya. Komitmen ini terutama tercermin melalui penyertaan jurnal nasional, yang sangat penting dalam banyak ilmu sosial dan disiplin ilmu humaniora. Satu-satunya disiplin ilmu di mana cakupan WoS melebihi Scopus adalah ilmu alam, mungkin karena fokus asli dari WoS memang di bidang ini.

Mungkin tidak tepat membandingkan cakupan judul di bidang ini antara Google Scholar dengan indeks lainnya. Namun, karena fokus eksklusif pada dokumen-dokumen online, cakupan Google Scholar di bidang seni dan humaniora kemungkinan lebih terbatas, mengingat bahwa proporsi yang cukup besar dari jurnal-jurnal ini masih hanya tersedia dalam bentuk cetak dan akses terbuka (open access) di bidang-bidang ini juga masih rendah.

Kualitas standardisasi data juga sangat berbeda pada ketiga pengindeks ini, terutama antara Google Scholar dengan dua yang lainnya. WoS memiliki reputasi untuk kualitas data yang lebih tinggi, karena praktik yang telah lama dikembangkan selama lima dekade. Praktik pengindeksan WoS ini sudah dikembangkan sejak era pradigital, yang dikuratori dan standar yang sudah tidak diragukan lagi. Pengindeksan awal pada WoS juga dilakukan dari versi cetak dokumen ilmiah. Hal ini memungkinkan pengindeksan berbagai aspek dokumen, termasuk pengindeksan manual jenis dokumen dan singkatan standar untuk alamat kelembagaan.

Data Scopus tidak memiliki tingkat pengindeksan setinggi WoS pada awalnya, mengingat karena sumber datanya sangat bergantung pada metadata yang dimasukkan untuk tujuan yang berbeda, yaitu, lebih penerbitan daripada pengambilan. Meskipun kualitas data Scopus telah meningkat, tetap saja masih di bawah WoS, terutama dalam hal alamat institusional penulis.

Google Scholar memiliki kualitas data yang paling buruk dari keduanya, karena tidak ada pembersihan atau pengindeksan manual yang dilakukan dan hanya bergantung pada pengindeksan otomatis. Masih sangat banyak data Google Scholar yang tidak sinkron dan perlu untuk diperbaiki. Pada masalah ini mereka justru mempercayakan kurasi pada pemilik akun.

Dalam hal disambiguasi penulis, Scopus lebih akurat dibanding lainnya. Indeks sitasi awal Thomson Reuters tidak membuat pengidentifikasi unik untuk penulis dan tidak mengindeks nama depan penulis hingga 2008, baru setelahnya hal ini dilakukan.

Google Scholar melakukan penugasan awal dokumen kepada penulis, yang memerlukan kurasi manual oleh masing-masing penulis. Hal ini menyebabkan variabilitas yang tinggi dalam hal disambiguasi. Seorang penulis harus membuat dan membersihkan profil mereka sendiri agar data menjadi akurat. Hal ini mungkin tampak sebagai hal yang sepele dan teknis, namun ini penting untuk bibliometrik tingkat individu. Tanpa disambiguasi penulis yang jelas, mengukur penelitian pada tingkat individu sangat sarat dengan kesalahan dan implikasi parah bagi peringkat penulis/peneliti.

Masalah lain adalah jenis dokumen. Meskipun WoS dan Scopus mengkategorikan dokumen ilmiah sebagai artikel penelitian, artikel ulasan (review), editorial, surat kepada editor, dll., Google Scholar tidak melakukan kategorisasi seperti itu. Hal ini membuat mustahil untuk membatasi analisis antar dokumen yang diperiksa. Meskipun WoS dan Scopus tidak menggunakan kategorisasi dokumen yang persis sama, mereka umumnya sepakat tentang apa yang bisa masuk dalam kategori artikel penelitian dan ulasan (review), yang biasanya dianggap sebagai kontribusi asli, peer-review untuk keilmuan.

Dari sisi popularitas (awam) jelas bahwa Google Scholar semakin populer pada tingkat yang tak tertandingi oleh Scopus dan WoS. Walaupun saat ini para akademisi, terutama di Indonesia sudah mulai “kerasukan” Scopus, sementara rasio dokumen antara WoS, Scopus, dan Google Scholar tetap relatif stabil dalam peningkatan yang konstan, kecuali WoS yang cenderung menurun.

Versi baru Google Scholar di mana akademisi dapat membuat profil sitasi sendiri menyebabkan peningkatan minat yang kuat, serta lambatnya minat pada yang lain. Penurunan relatif minat pada WoS semakin menjadi sejak posisi kedua diambil alih oleh Scopus pada tahun 2015. Ini menunjukkan perbedaan potensial dalam penggunaan untuk pengambilan referensi (sitasi), bukan untuk pengukuran penelitian, tetapi merupakan indikasi dari pangsa pasar yang meningkat untuk Google Scholar dan Scopus.

Singkatnya, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan sumber data tertentu (di luar akses ke sumber data itu sendiri). Keseimbangan antara kelengkapan dan akses, kualitas data yang diperlukan, dan jenis pengukuran yang perlu dilakukan . Misalnya, Google Scholar tidak cocok untuk indikator kolaborasi atau kelembagaan dan hanya dapat digunakan (dengan hati-hati) untuk bibliometrik tingkat individu. Scopus tidak dapat digunakan untuk analisis historis, dan WoS tidak berkinerja baik untuk bibliometrik tingkat individu tanpa disambiguasi tambahan. Kita juga harus mempertimbangkan genre dan masalah disiplin ilmu. Cendekiawan dalam ilmu sosial, seni, dan humaniora lebih tepat bila dibahas dalam Scopus daripada di WoS, sedangkan untuk ilmu alam dan medis, keduanya relatif setara.

Kenyamanan sering kali menjadi pembenaran untuk pemilihan indeks, tetapi peneliti harus mengakui keterbatasan yang melekat pada masing-masing database ini dan mempertimbangkan apakah data tersebut sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan. Hal ini juga sangat terkait dengan akses. Dimana hanya Google Scholar yang memberi akses terbuka pada siapapun tanpa menjadi member atau membayar sejumlah uang tertentu.

Begitulah sedikit ulasan tentang Google Scholar, WoS, dan Scopus. Sebenarnya masih banyak lagi pengindeksan yang sudah mulai dikenal oleh banyak orang seperti Microsoft Academic Search juga Copernicus. Mudah-mudahan di lain kesempatan kita bisa membahasnya di maglearning.id.

%%footer%%

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan