Dampak dan Masalah Subsidi Pupuk

Dampak dan Masalah Subsidi Pupuk – Kebijakan subsidi pupuk merupakan salah satu kebijakan yang secara historis menjadi tulang punggung kebijakan subsidi bidang pertanian di Indonesia. Sejak program Bimas dan Inmas dilaksanakan pada tahun 1969, subsidi pupuk sudah menjadi komponen utama kebijakan subsidi bidang pertanian. Dalam program tersebut, penggunaan pupuk merupakan salah satu komponen Panca Usaha Pertanian yang merupakan batang tubuh dari program Bimas.

Walau berfluktuasi, nilai subsidi terus meningkat tajam. Pada tahun 2003, nilai subsidi pupuk masih Rp900 miliar, kemudian meningkat pesat menjadi lebih dari Rp15 triliun pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa subsidi pupuk masih menjadi instrumen penting dalam kebijakan pertanian.

Kebijakan pemerintah yang cenderung terus meningkatkan subsidi pupuk bertujuan untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan. Kebijakan ini dilandasi pemikiran bahwa pupuk merupakan faktor kunci dalam meningkatkan produktivitas, dan subsidi dengan harga pupuk yang lebih murah akan mendorong peningkatan penggunaan input tersebut (PSE-KP 2009).

Selain itu, subsidi pupuk juga dimaksudkan untuk merespons kecenderungan kenaikan harga pupuk di pasar internasional dan penurunan tingkat keuntungan usaha tani. Selanjutnya, kebijakan subsidi pupuk juga bertujuan untuk memenuhi prinsip enam tepat dalam penyaluran pupuk, yaitu tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu (Herman et al. 2005). Resultannya adalah subsidi pupuk diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani.

Meskipun memiliki tujuan yang mulia, kebijakan subsidi pupuk ternyata masih mengundang perdebatan. Di satu sisi, kebijakan subsidi pupuk dinilai berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas sektor pertanian dan pendapatan petani, khususnya tanaman pangan. Di sisi lain, kebijakan subsidi pupuk dinilai tidak efektif dalam hal biaya, pencapaian petani target, kurang tepat waktu dan harga, bahkan cenderung mendorong penggunaan pupuk yang berlebihan.

Sebagai suatu program subsidi dengan target yang sangat luas, subsidi pupuk menghadapi berbagai masalah dan kendala sehingga menurunkan efektivitasnya dalam mencapai tujuan. Paling tidak, ada tiga dampak dan masalah penting dalam program subsidi pupuk, yaitu:

  1. penyelewengan distribusi pupuk bersubsidi,
  2. kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan, dan
  3. bias sasaran/target.

Masalah Subsidi Pupuk

Masalah subsidi pupuk pertama yang paling mendasar adalah sistem distribusi pupuk bersubsidi memberi peluang adanya penyelewengan distribusi. Akibatnya, petani yang seyogianya memperoleh pupuk bersubsidi sering mengalami kesulitan dari segi volume maupun harga. Sebagai contoh, walaupun pemerintah telah mencairkan dana Rp11,53 triliun dari total alokasi anggaran Rp15,10 triliun pada tahun 2008, petani tanaman pangan yang seharusnya menerima pupuk bersubsidi masih mengalami kesulitan untuk mendapat pupuk pada jumlah dan harga yang sesuai. Hal ini terjadi karena adanya kebocoran atau penyelewengan penyaluran pupuk bersubsidi.

Pupuk bersubsidi tidak hanya diselewengkan ke tanaman perkebunan, tetapi juga ke industri termasuk industri kayu lapis, lem, peternakan, dan batik (Lakitan 2008).  Banyak modus operandi yang dilakukan berbagai kalangan untuk memperoleh keuntungan yang besar dengan melakukan penyelewengan. Hasil observasi pihak kepolisian menyebutkan paling tidak ada tujuh modus operan di penyelewengan pupuk bersubsidi, yaitu: 

  1. melakukan penimbunan,
  2. mengganti kemasan pupuk bersubsidi dengan nonsubsidi,
  3. melakukan perdagangan antarpulau,
  4. menyebarkan isu kelangkaan pupuk,
  5. penyelundupan fisik dan administrasi,
  6. memalsukan kuota kebutuhan, dan
  7. menggeser stok dari satu daerah yang harganya lebih murah ke daerah yang harganya lebih tinggi.

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya penyelewengan distribusi pupuk bersubsidi. Disparitas harga yang tinggi antara pupuk bersubsidi dan tanpa subsidi terjadi karena adanya dualisme pasar. Pengecer sebagian besar juga bersifat pasif dalam mendistribusikan pupuk bersubsidi, yaitu hanya melayani pembeli yang datang ke kiosnya tanpa membedakan pembeli yang berhak atau tidak berhak mendapat pupuk bersubsidi. Dengan demikian, pengecer berpeluang menjual pupuk bersubsidi ke pihak lain di luar subsektor tanaman pangan.

Masalah subsidi pupuk kedua dalam program subsidi pupuk, yaitu kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan, muncul karena kesulitan dalam membuat data yang akurat mengenai kebutuhan pupuk bersubsidi. Prakiraan kebutuhan pupuk sering dibuat secara agregat dengan memperhitungkan luas tanam dan takaran pupuk secara umum. Kenyataannya, takaran penggunaan pupuk bervariasi, baik karena perbedaan luas lahan maupun tingkat kesadaran petani terhadap manfaat pupuk. Akibatnya, kebutuhan riil dengan ketersediaan pupuk sering berbeda nyata sehingga ada daerah yang kelebihan dan banyak yang kekurangan.

Masalah subsidi pupuk ketiga berkaitan dengan azas keadilan. Petani kaya atau yang lahannya luas memperoleh pupuk bersubsidi jauh lebih banyak dibanding petani miskin atau berlahan sempit. Hal ini disebabkan petani yang memiliki lahan luas atau lebih kaya cenderung menggunakan pupuk lebih banyak.

Sekitar 20% petani dengan luas lahan tersempit hanya menerima bantuan pupuk 8% dari total bantuan, sementara 20% petani yang berlahan lebih luas menerima 13% dari total bantuan. Sementara itu, 20% petani yang memiliki lahan terluas menerima 37% dari total bantuan. Hal yang sama juga berlaku untuk penerima bantuan TSP. Petani berlahan sempit hanya menerima 7% dari total bantuan, sementara 20% petani yang memiliki lahan luas mendapat 38% dari total bantuan. Hasil studi di beberapa negara seperti Zambia juga menggambarkan fenomena yang sama.

Halaman Selanjutnya …… (dampak dan masalah subsudi pupuk)

%%footer%%
Pages ( 1 of 2 ): 1 2Lanjut »

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan