FILOSOFI MENGADUK KOPI PANAS

FILOSOFI MENGADUK KOPI PANAS – Obrolan saya tentang kopi dimulai ketika ada sopir tamu saya dari luar kota terlihat mengantuk, padahal mereka sudah bersiap pamit pulang. Mulailah saya tawarkan untuk saya buatkan secangkir kopi pahit, tentu saja masih mengandung gula, kalau kopi dan air panas saja bisa-bisa “ngedumel” sepanjang perjalanan si sopir tadi.

Setelah saya sodori secangkir kopi pahit yang saya buat dari bubuk kopi kiriman kenalan dari Padang Sumatera Barat, mulailah dia bercerita tentang warung-warung kopi yang sering ia kunjungi. Setiap warung punya daya tarik tersendiri, mulai dari lokasi yang nyaman, pemilik warung yang supel atau yang terpenting “sedap dipandang”, sampai pada cara mengaduk kopinya.

Saya tertarik dengan musabab terakhir, “cara mengaduk kopi”. Bagaimana bisa hanya dengan cara mengaduk kopi saja bisa menghasilkan rasa dan aroma kopi yang lebih nikmat, minimal berbeda. Ini kan kita bicara warung kopi bukan resto atau kafe?. Kalau gerai kopi modern mungkin saya maklum, lha ini kelas warkop pinggir jalan di desa-desa. Bila di gerai kopi modern memang diperhatikan betul kualitas biji kopinya, apa jenisnya, di mana ditanamnya, bagaimana memasak biji kopinya, sampai itu tadi “mengaduk” atau meracik untuk disajikan ke pembeli. Mereka punya standar dan banyak metode yang berbeda.

Lah bijimana mengenai filosofi? Sampai lupa hehehe….. singkat cerita, ternyata tidak sedikit yang meyakini bahwa hitungan mengaduk kopi juga mempengaruhi cita rasa kopi, ada yang harus ganjil, ada yang harus mengaduk dengan jumlah putaran tertentu misalnya harus 39 putaran, ada pula yang putarannya harus selalu searah tidak boleh terbalik, entah apa yang terjadi bila terbalik.

Eh, ternyata teman saya tadi juga termasuk yang mempercayai mitos itu. Dia punya langganan warung kopi yang penjual kopinya pasti mengaduk kopinya 27 kali secara searah. Saya menjadi tertarik untuk merenungkan hal ini.

Kenikmatan menyeruput kopi panas sudah termashur di manapun. Kenikmatan ini akibat dari bercampurnya kopi yang pahit dan gula yang manis. Hampir semua orang mengaggap kopi itu manis, padahal yang manis adalah gula. Mengapa tidak minum gula yang diseduh dengan air panas saja? Tentu itu pertanyaan bodoh.

Ya, pahitnya kopi dan manisnya gula harus dicampur, salah satunya dengan mengaduk sampai rata agar keluar aromanya yang sering menggugah mood dan nikmat ketika diseruput. Mengaduknya harus sampai benar-benar bersenyawa, bisa dibayangkan bila istri atau pacar Anda ngambek lalu menghidangkan kopi tanpa diaduk, lalu Anda dengan penuh cinta langsung menyeruputnya. Ah, sudahlah saya tidak mau curhat…..

Yang jelas dalam adukan kopi itulah kita bisa belajar bahwa manis pahitnya kehidupan wajib bersenyawa. Susah senangnya hidup di dunia kerja harus dinikmati seperti menikmati kopi. Merana dan gembiranya menuntut ilmu harus dilalui dilebur dalam semangat dan rasa optimis. Seperti melebur pahitnya kopi dan manisnya gula dalam air panas, terkadang kita merasa bahwa hidup ini penuh dengan masalah seakan-akan kita berada pada puncak panasnya dunia.

Ingat, bahwa mengaduk kopi selalu dengan air panas, mitos harus searah mungkin didasari bahwa sepahit apapun perjuangan kita, kita harus tetap maju ke depan. Jangan menoleh ke belakang terus maju sampai pahit manisnya kehidupan benar-benar bersenyawa dan nikmat. Tidak peduli hidup kita harus berputar-putar seperti adukan kopi, yang terpenting adalah tetap melangkah kedepan dan selalu optimis seperti optimisnya penjual kopi, bahwa kopi racikannya bakal membawa rejeki bagi dirinya dan keluarganya. Terus sebarkanlah energi positif itu, sehingga menimbulkan radiasi tidak terbendung mendeterminasi pemikiran pelanggan bahwa adukan itu akan membawa kenikmatan yang tiada tiruan.

%%footer%%

Demikianlah corat coret saya tentang filosofi mengaduk kopi. Semoga bermanfaat, Selamat berjuang….. (maglearning.id)

One comment

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan