Belanda ketakutan apabila semangat nasionalisme bangsa yang dijajahnya kian mewabah. Oleh karena itu, pemerintah pun memberlakukan aturan yang cukup ketat terhadap lagu Indonesia Raya. Belanda lantas melarang kata “merdeka, merdeka!” yang terdapat dalam refrein lagu Indonesia Raya dan mengancam akan memberikan hukuman berat bila aturan ini dilanggar.
Pemuda juga dilarang menyanyikan lagu itu dengan berdiri atau di tempat umum. Lagu itu juga ditolak sebagai lagu kebangsaan (volkslied) serta diturunkan derajatnya menjadi lagu perkumpulan (clublied). Meskipun demikian, para pemuda tidak gentar. Mereka menyiasatinya dengan kata pengganti, “mulia, mulia!”, bukan “merdeka, merdeka!”. Para aktivis perjuangan itu tetap saja menganggap lagu itu sebagai lagu kebangsaan. Dan mereka tetap menyanyikan lagu itu pada setiap rapat-rapat politik.
Ditelisik dari susunan liriknya, lagu Indonesia Raya adalah suatu bentuk soneta atau sajak empat belas baris yang terikat dalam satu pikiran dan perasaan yang bulat. Soneta ini terdiri dari satu oktaf (kumpulan delapan nada berturut-turut dengan dua kuatren yang masing-masing bait terdapat empat larik (puisi empat seuntai).
Dengan ciri ini, Indonesia Raya sangat pas dinyanyikan dan dimainkan oleh masing-masing enam penyanyi dan enam pemain musik alias satu sekstet. Penggunaan bentuk ini dilihat sebagai avabt grade alias “mendahului zaman”, kendati soneta sendiri sudah populer di Eropa.
Indonesia Raya lebih berirama mars (tempo di marcia). Pada partitur aslinya, WR Soepratman menuliskan tanda irama khusus pada ciptaannya itu. Soepratman menulis,” Oepatjara. Djangan terlaloe tjepat!”. Artinya, lagu ini tidak akan bermakna jika dimainkan dalam tempo yang terlalu cepat karena di sinilah letak kekuatan magis lagu Indonesia Raya. Karena pada waktu penciptaannya terkendala oleh keterbatasan teknologi, lagu Indonesia di masa awal, didengar dari kesan iramanya, terasa kurang greget.
Hal itu wajar karena fasilitas alat musik untuk memainkannya pun masih sangat sederhana. Maka itu, kepada Josef Cleber, Bung Karno meminta agar aransemen Indonesia Raya dipoles menjadi lebih menggetarkan jiwa. “Harus ada bagian yang liefelijk, yaitu pada bagian sebelum refrain. Refrainnya sendiri harus meledak agar menciptakan klimaks,” pinta Bung Karno. Namun, untuk menjaga makna asli dan orisinalitas Indonesia Raya, Bung Karno mewanti-wanti Josep, “”Indonesia Raya itu seperti Bendera Merah Putih. Tidak perlu diberi renda-renda lagi.”
Josep Cleber memahami apa yang diinginkan Bung Karno. Bagian liefelijk (mendayu-dayu), yaitu empat baris sebelum refrain, didekati dengan dominasi alat-alat gesek seperti biola dan cello. Sedangkan untuk menciptakan efek gelegar pada refrain, Cleber memasukkan unsur simbal, timpani, dan terompet yang sangat gagah. Alhasil, sempurnalah lagu Indonesia Raya sebagai layaknya lagu kebangsaan negara seperti yang sering diperdengarkan sekarang.
Akhir Hayat
Kehidupan sehari-hari Soepratman jauh dari layak. Ia tidak cukup banyak mempunyai pakaian yang pantas dikenakan untuk menghadiri rapat-rapat politik. Pantalonnya yang dibikin dari kain berwarna putih sudah menjadi agak hitam. Di sana-sini terlihat rombeng, kain itu sudah kian menipis karena saking seringnya dipakai.
Soepratman tak kuat membeli baju di tempat yang pantas dan lebih memilih berbelanja pakaian bekas di Pasar Senen. Rumahnya pun cuma berupa gubug reyot. Upahnya sebagai wartawan nyaris tak cukup memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan yang primer, untuk makan sehari-hari. Ia wajib bekerja keras mencari berita hingga ke pelosok-pelosok Batavia. Tak ada berita berarti tak makan.
Tetapi, di balik segala kemelaratan dan kenestapaannya, WR Soepratman dengan gemilang mampu menciptakan lagu-lagu andalan bagi bangsa. Selain mahakaryanya Indonesia Raya, Soepratman sukses pula membikin lagu-lagu legendaris lainnya, salah satunya adalah lagu Ibu Kita Kartini. Ia juga menjadi aktor utama terciptanya lagu-lagu mars partai-partai pergerakan, seperti Mars-PBI, Mars-KBI, serta Mars-Suryawirawan.
Lagu-lagu Soepratman pada saat itu sangat populer di kalangan aktivis pergerakan karena sangat bernafaskan semangat perjuangan. WR Soepratman juga pernah tercatat sebagai anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (Partindo), juga Partai Indonesia Raya (Parindra).
Inilah jasa utama WR Soepratman bagi pembentukan negara Indonesia. Soepratman adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang mampu menggelorakan semangat kebangsaan rakyat lewat musik. Jika lazimnya pejuang pergerakan memantik nasionalisme rakyat melalui pidato, tulisan, citra personal, ataupun aksi-aksi politik, Soepratman berhasil membuka mata dan hati rakyat dengan kejeniusannya mencipta lagu yang mampu menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka harus bergerak menuju kemerdekaan atas nama satu bangsa.
Pada masa pendudukan Jepang yang mulai menjajah Indonesia sejak 1942, lagu Indonesia Raya juga dilarang dinyanyikan. Baru pada 18 Agustus 1945, tujuh belas tahun setelah diciptakan, Undang-undang Dasar 1945 memutuskan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Republik Indonesia. Sayang, Soepratman telah meninggal dunia tepat delapan tahun sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu kebangsaan yang menggelorakan itu, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda.
Kondisi kesehatan Soepratman mulai melemah sehingga ia dibawa ke rumah orang tuanya di Cimahi untuk menjalani perawatan dan istirahat. Tak lama kemudian, Soepratman yang sudah kepayahan diboyong ke Surabaya ke rumah salah seorang kakak perempuannya. Kendati sudah teramat parah, semangat Soepratman untuk terus berjuang tiada pernah redup.
Di Surabaya inilah ia bergabung dengan Parindra bersama Dr Soetomo. Maut semakin dekat mengintai Soepratman ketika ia baru saja selesai menciptakan lagu terakhirnya yang bertitel Matahari Terbit. Pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama bersama para pemuda di Jalan Embong Malang Surabaya. Kemudian Soepratman dipenjarakan di rumah tahanan Kalisosok Surabaya.
Wage Rudolf Soepratman meninggal dunia tanggal 17 Agustus 1938 pada umur tiga puluh lima tahun karena sakit, kemungkinan sakit syaraf atau paru-paru. Soepratman rela mengorbankan dirinya demi bangsa dengan wafat pada usia muda, mendahului para seniornya.
Soepratmanlah musisi muda Indonesia yang utama sekaligus aktor utama dalam sejarah lagu Indonesia Raya. “Harus saya akui, saya menitikkan air mata ketika membaca bagian yang mengisahkan akhir hayat Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu kebangsaan kita. Saya terharu, betapa orang sebesar dia harus mengakhiri hidupnya dalam kesepian dan kesengsaraan. Hidupnya sungguh tidak seindah lagunya,” kenang Bung Karno salut.
Demikianlah sekelumit sejarah diciptakannya lagu Indonesia Raya oleh WR. Soepratman. Semoga bermanfaat (maglearning.id).
Laman: 1 2