Sebelum langsung pada pokok pembahasan “Bermoralkah Pemujaan Sarana di atas Tujuan?” ada baiknya memperhatikan ilustrasi berikut:
Pertama, ada seorang pharmacist (apoteker) sedang melakukan pengembangan obat yang akan berguna bagi banyak orang. Dalam pekerjaannya ia didukung oleh perusahaan obat. Akhirnya ia berhasil menemukan varian obat baru yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu, dan tentu mendapat hak paten atas obat tersebut.
Perusahaan pun memproduksi obat tersebut secara masal untuk dijual. Oleh karena sang apoteker memiliki paten tersebut, maka secara otomatis ia mendapat beberapa persen dari keuntungan penjualan obat.
Kedua, ada seorang dokter yang tidak terkenal pergi ke pedalaman, katakanlah, di pulau A untuk membantu dan menyembuhkan masyarakat yang terkena wabah penyakit. Jika dibandingkan dengan apoteker pada ilustrasi pertama, tentu dokter ini dipandang langsung sebagai orang yang mulia sehingga memperoleh penghargaan moral yang lebih besar dan menjadi inspirasi bagi dokter yang lain.
Penjernihan Ilustrasi
Pada ilustrasi pertama, apoteker dipandang sebagai seorang yang hebat, berjasa bagi umat manusia, memperoleh penghargaan bidang kesehatan, dan lain-lain. Apoteker, dalam ilustrasi tersebut, tidak begitu kelihatan sisi moralnya, sehingga seolah-olah ia bekerja untuk obat itu saja. Dengan kata lain, ia bekerja bukan untuk umat manusia, tetapi memenuhi ambisinya untuk menemukan varian obat baru.
Pada ilustrasi kedua, dokter dikatakan sebagai orang bermoral dan baik hati. Dokter tersebut memiliki moralitas yang baik dengan memperlihatkan kerelaan berkorban, mendedikasikan dirinya untuk menolong orang, tidak mencari keuntungan, berlaku sopan, dan lain-lain. Dipandang secara nyata tentu tindakan yang diperlihatkan dokter tadi membuat orang mengucap “ckckck.. masih ada aja orang kayak gitu,” atau “mulia banget ya, andai semua dokter semulia itu..” dan ungkapan lainnya.
Kecurigaan Filosofis
Dapat dicurigai bahwa apakah tujuan sebenarnya dari seorang manusia, contohnya dokter dalam ilustrasi kedua? Mengapa ia berkorban sedemikian rupa untuk masyarakat pedalaman pulau A?
Henry Hazlitt berpendapat bahwa moralitas adalah sarana. Moralitas dipandang bukan sebagai tujuan, karena jika dipandang demikian akan membalikkan moralitas yang sebenarnya (Hazlitt, 281:2003). Dengan landasan teori tersebut, kecurigaan filosofis dapat dikemukakan.
Kecurigaan yang dapat dipertanyakan adalah apakah dokter tersebut berkorban sebagai pemenuhan moralitas? Apakah dokter tersebut bertujuan untuk menyempurnakan dirinya dengan menganggap bahwa jika menolong orang dia akan bermoral? Jika pertanyaan tersebut dijawab ya, maka berdasarkan teori Hazlitt, dokter tersebut dengan sendirinya tidak bermoral dikarenakan dokter tersebut telah membalikkan antara sarana dengan tujuan. Ia menolong orang bukan karena tujuan ingin menolong tetapi sebagai tujuan bahwa harus bermoral.
Pandangan Objektif
Ada beberapa hal objektif yang perlu dikemukakan satu persatu. Pertama, adanya tujuan harus bermoral mengimplikasikan bahwa tindakan hanyalah sekedar “pemuasan diri” terhadap hal moral. Ibaratnya, saya harus berbuat begitu karena moralitas mengatakan demikian. Misalnya, ada moralitas mengatakan “tidak boleh membunuh,” jika moralitas yang merupakan sarana dijadikan tujuan, artinya kegiatan membunuh sama sekali tidak boleh dilakukan sekalipun dalam keadaan terdesak, karena tujuannya adalah menjadi bermoral, dan harus patuh terhadap prinsip “tidak boleh membunuh” itu.
Kedua, tentang perasaan orang yang mengetahui jika saya menolong orang tersebut dikarenakan saya hanya ingin bermoral yaitu menolong orang. Secara individu, dengan menjadikan moral sebagai tujuan, orang akan tidak dipandang lebih berharga dari sesuatu yang disebut moral, sehingga orang tadi bisa bertanya-tanya “sebenarnya dia menolong saya dari hati yang paling dalam atau sekedar tujuan formalitas supaya menjadi orang yang bermoral?”
Ketiga, dalam memandang teori Hazlitt, memang benar moralitas merupakan sarana dalam mencapai tujuan. Namun, bukan berarti pemahaman tentang moralitas itu sendiri tidak perlu diperdalam. Justru moralitas itu dipelajari bersinergi dengan tujuan. Dengan kata lain sarana dan tujuan haruslah berjalan secara bersamaan. Karena, jika tujuan untuk menolong orang tidak disadari dengan rasa wajib atas moralitas, maka menolong orang tadi akan menjadi tindakan yang semu.
Jika tindakan sudah semu maka apa sebenarnya arti menolong orang? Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa moralitas adalah sebuah keabstrakan kompleks yang sulit dipahami, tetapi tetap harus dipahami lewat kehidupan dan pengalaman untuk menjadikan hidup lebih baik dan menjadikan manusia bermoral. (maglearning.id)