Perspektif Historis Peringatan 1 Muharam

Perspektif Historis Peringatan 1 Muharram

Perspektif Historis Peringatan 1 Muharram – Umat Islam kembali bertemu dengan pergantian tahun baru hijriah 1 Muharram 1444 H, bertepatan dengan tanggal 30 Juli 2022. Perubahan tahun kalender Islam —yang juga disatukan dengan pergantian tahun baru Jawa oleh penguasa Mataram saat itu— berdekatan waktunya perayaan hari Natal dan tahun baru Masehi dan Imlek patut dijadikan renungan bersama.

Dalam tradisi Islam maupun Jawa, bulan Muharram atau Sura ini memiliki makna yang unik. Orang Jawa memandang Sura merupakan bulan istimewa yang penuh mitos. Di bulan inilah hubungan antara manusia dengan makhluk halus (bangsa lelembut) ditata dan diharmonisasi kembali melalui ritual adus kungkum (berendam di air), pencucian benda-benda keramat dan sejenisnya. Laku untuk meraih kasekten (kesaktian) dan kamukten (kemuliaan) yang mengandalkan kontrak kerja dengan bangsa alus akan lebih mujarab bila dilaksanakan pada bulan ini.

Umat Islam juga memiliki cerita yang khas mengenai muharram ini. Selain karena Muharram telah dijadikan sebagai titik tolak pergantian tahun baru hijriah, Muharram juga menjadi bulan favorit para nabi zaman dulu diselamatkan dari berbagai petaka.

Hingga hari ini, ritual menyambut tahun baru Islam (peringatan 1 Muharram) dirayakan melalui pembacaan doa akhir dan awal tahun, termasuk disunnahkan bagi umat Islam untuk puasa Asyura (hari ke-10), di samping Tasu’a (hari ke-9) dan hari ke-11.

Dasar puasa sunnah ini adalah salah satu hadits Rasulullah yang termaktub dalam Sahih Bukhari: ’’Dari Ibnu ’Abbas, ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, ia melihat orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura.

Nabi bertanya: ’Apakah ini?’ Orang-orang Yahudi menjawab: ’Ini hari yang baik. Pada hari inilah Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa AS berpuasa pada hari itu. Kata Nabi kemudian: ’Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian. Maka Nabi pun melakukan puasa dan kaum mukmin untuk melakukannya juga.”

Ada juga hadits yang diriwayatkan dalam Sahih Muslim bahwa orang yang berpuasa pada hari Asyura (10 Muharram), ditambah hari Tasu’a (9 Muharram) dan tanggal 11 Muharram akan diampuni dosa-dosanya selama setahun yang lalu. Dua hadits ini setidaknya menambah keyakinan betapa Asyura merupakan bulan penting karena telah terjadi peristiwa bersejarah yang patut diperingati.

Konon banyak sekali nabi Allah yang disembuhkan atau diselamatkan pada tanggal 10 Muharram. Nabi Ayyub disembuhkan dari penyakit kustanya, Nabi Musa diselamatkan dari kejaran Raja Fir’aun, Nabi Nuh dibebaskan dari kepungan banjir besar, Nabi Ibrahim diselamatkan dari kobaran api Raja Namrud dan lain sebagainya.

Nabi-nabi pilihan ini diangkat derajatnya dan mengalami titik balik (turning point) kehidupan pada hari Asyura itu. Hadits dan bukti historis di atas dijadikan pijakan oleh kaum muslim untuk melakukan puasa sunnat Asyura sebagai wujud rasa syukur karena Allah telah menyelamatkan manusia pilihan dari tindak kebathilan kaumnya.

Peringatan 1 Muharram, Hari duka atau suka cita ?

Ali Syari’ati pernah mengatakan bahwa sejarah tentang kebaikan adalah sejarah tentang sederetan kekalahan (1993:162). Begitu pula pengungkapan kebenaran sering kali diwarnai dengan maraknya kebatilan. Bukanlah suatu kebetulan bila sejarah Islam tidak hanya mencatat peristiwa yang manis-manis saja. Manisnya sejarah Muharram karena ia dijadikan sebagai sistem kalender Islam.

Muharram dijadikan sebagai bulan pertama tahun Islam lebih karena alasan politis-sosiologis. Sebab penamaan hijrah itu dimaksudkan sebagai penghargaan terhadap momentum hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah. Sedangkan peristiwa hijrah sendiri tidak terjadi di bulan Muharram tapi di bulan Maulud (Rabi’ul Awwal).

Kemenangan para nabi di bulan ini tidak terjadi di dalam sejarah Islam. Muharram dalam sejarah Islam malah diwarnai peristiwa kelam dan berlumuran darah, tepatnya di tanggal 10 Muharram. Dikisahkan ketika berhasil memperdayai Ali Ibn Abi Thalib dan merebut kekuasaan al-khilafah al-rasyidah dari sahabat Rasulullah yang saleh ini, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan melancarkan propaganda dan agitasi politik ke seluruh pelosok untuk mereduksi dan menghilangkan pengaruh Ali ibn Abi Thalib.

Ali menantu Rasulullah dari anaknya Fatimah, mukmin pertama dari kalangan anak-anak yang beriman atas kerasulan Nabi Muhammad, yang menggantikan tempat tidurnya saat rumah Nabi dikepung kaum Jahiliyyah, yang meruntuhkan benteng Khaibar, yang memenangkan perang Badr, yang tegak berdiri di Hud ketika sahabat yang lain melarikan diri dari medan perang, kini dicaci-maki di berbagai tempat, termasuk di mimbar-mimbar masjid. Pengikut dan anak cucu Ali dianiaya dan disia-siakan.

Al-Hasan putra Ali, bersedia damai dengan Mu’awiyah asal ia menghentikan kecaman terhadap ayahnya. Meski akhirnya, al-Hasan harus menelan pil pahit karena Mu’awiyah berkhianat dan tidak menepati janjinya. Sementara al- Husain, saudara al-Hasan bersikap lebih keras kepada orang-orang yang menganiaya ahl al-bait (keluarga Ali keturunan Rasulullah).

Di makam Rasulullah, ia bertekad menegakkan kembali Islam Muhammadi —Islam yang diajarkan Muhammad SAW yang menentang kezaliman dan melawan penindasan. Al-Husain bertekad menjadikan Islam sebagai agama yang pro kaum mustadh’afin.

Kebenaran yang diyakini anak Ali ibn Abi Thalib ini harus dibayar mahal. Empat ribu pasukan Yazid ibn Muawiyah berhasil menghabisi al-Husain dan pengikutnya di padang Karbala. Al-Husain wafat dan kepalanya dipenggal, diarak sepanjang jalan dan diserahkan kepada penguasa saat itu, tepat 10 Muharram 61 H. Jadi bagi keluarga Rasulullah, 10 Muharram adalah hari dukacita, berkabung, bukan hari bersyukur. Inilah hari lahirnya Shi’isme (loyalis Ali ibn Abi Thalib) yang selalu diperingati dengan darah dan airmata oleh pengikutnya.

Dengan propaganda politiknya, Mu’awiyah berhasil membalik persepsi publik dengan menjadikan 10 Muharram sebagai hari kemenangan yang patut dirayakan. Muslim Indonesia yang mayoritas bermazhab Sunni, tampaknya ikut-ikutan terlena oleh agenda politik Mu’awiyah ini.

Tanpa menyadari motif politik di balik perayaan bulan Muharram (peringatan 1 Muharram), maka amalan-amalan yang dianjurkan untuk dikerjakan di bulan ini akan kehilangan makna atau malah salah sasaran.

Perjuangan mempertahankan dan menegakkan kebenaran seharusnya lebih militan dan sistematis. Jangan sampai loyo dan akhirnya dikalahkan oleh kebathilan. Bahwa kita wajib mewujudkan pemerintahan yang baik adalah kebenaran yang harus dilaksanakan. Kalau kita sepakat bahwa korupsi adalah common enemy yang harus diperangi bersama, mestinya harus disuarakan keras-keras oleh semua pihak dan dengan komitmen tinggi untuk tidak melakukannya.

Jihad menegakkan kebenaran dan memberantas kebathilan adalah spirit utama peringatan Muharram. Spirit ini jauh lebih utama ketimbang berpuasa, sekalipun lebih afdhal bila dilakukan bersamaan, berpuasa sekaligus jihad.

Pertarungan antara kebenaran dan kebathilan berlangsung terus tanpa henti, sampai datang saat di mana yang haq akan dimenangkan dan yang bathil dimusnahkan. Kemenangan melawan kebatilan tidak pernah terwujud tanpa usaha serius dari manusia.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, kebatilan yang telah menjerumuskan rakyat ke jurang kesengsaraan harus dihentikan. Pelaku yang menyebabkan kesengsaraan harus dicuci mentalnya dan dikembalikan ke jalan yang benar. Oleh karena itu, peringatan tahun baru Islam ini harus dijadikan momentum bahwa kebenaran harus ditegakkan dan kebathilan harus dilawan habis.

Demikianlah sedikit ulasan tentang perspektif historis peringatan 1 Muharram. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa lagi di lain bahasan (maglearning.id).

Loading...

Tinggalkan Balasan