Prinsip Berbasis Otak Dalam Strategi Pembelajaran Era Digital

Prinsip Berbasis Otak Dalam Strategi Pembelajaran Era Digital

Dalam menerapkan strategi pembelajaran era digital, ada satu hal penting yang menjadi kunci keberhasilannya, yaitu apa yang dinamakan dengan prinsip berbasis otak atau brain-based principle. Prinsip dasar tertentu tentang otak dapat diterapkan di kelas (Caine & Caine, 1994). Dalam tulisan singkat ini, kita akan melihat dan mendiskusikan beberapa di antaranya, termasuk hal-hal berikut ini:

  • Otak membutuhkan pengalaman yang beragam.
  • Otak mencari pola.
  • Otak mencari makna.
  • Stres menghambat pembelajaran.
  • Belajar adalah perkembangan.
  • Otak bersifat sosial.

Otak Membutuhkan Pengalaman Beragam

Menurut James Zull (2002) dalam The Art of Changing the Brain, belajar “adalah perubahan dalam diri kita, karena adanya perubahan pada otak kita”. Untuk berubah dalam jangka panjang, otak membutuhkan pengalaman yang memperkuat perubahan yang telah terjadi. Ingat teori belajar kognitif maupun konstruktivis. Otak melakukan proses pembentukan skemata-skemata melalu pengalaman-pengelaman.

Pengalaman-pengalaman ini harus mencerminkan hal-hal tertentu yang kita ketahui tentang belajar, antara lain sebagai berikut:

  • Masukan multisensor. Penelitian sangat menyarankan bahwa pembelajaran akan lebih kuat dan pengambilan informasi akan lebih mudah jika lebih banyak indera yang terlibat. Pembelajaran dengan audio visual akan lebih baik bila dibandingkan dengan audio saja maupun visual saja.
  • Hadiah dan motivasi. Banyak siswa memiliki otak yang sangat adaptif yang akan mencari cara untuk mendapatkan hadiah tanpa melakukan pekerjaan. Meskipun penghargaan ekstrinsik kadang tidak berguna, namun nyatanya beberapa penghargaan mampu memotivasi beberapa siswa. Jika kenikmatan belajar terjadi, maka motivasi intrinsik dapat mengambil alih.
  • Memori. Tanpa pengulangan, sesuatu (materi belajar) sulit diingat. Jumlah pengulangan yang diperlukan mungkin tergantung pada jumlah emosi yang melekat pada memori tertentu. Pengalaman yang terkait dengan emosi lebih mudah diingat.
  • Pengetahuan sebelumnya. Belajar jarang terjadi jika tidak terhubung dengan sesuatu yang sudah kita ketahui.
  • Dari konkret ke abstrak. Karena lobus frontal, area otak tempat terjadinya pemikiran abstrak lambat berkembang, kita harus mulai dengan contoh konkret dan kemudian beralih ke abstrak. Bahkan siswa yang lebih tua mungkin mengalami kesulitan melompat langsung ke abstraksi.
  • Latihan. Latihan membuat permanen. Oleh karena itu, kita harus yakin bahwa siswa kita tidak mengalami miskonsepsi. Pertama, mereka harus mampu berbicara dan menulis tentang suatu konsep atau keterampilan sehingga kita dapat mengetahui pemahaman mereka.
  • Cerita. Cerita melibatkan banyak area otak. Mereka datang dari pengalaman kita, ingatan kita, ide kita, tindakan kita, dan perasaan kita. Karena cerita memiliki awal, tengah, dan akhir, mereka membantu mengembangkan proses pengurutan dan pengorganisasian otak. Cerita juga melibatkan banyak pemicu emosional yang berbeda yang membantu dalam mengambil informasi.
  • Komputer dan bentuk teknologi lainnya. Banyak indera yang terlibat ketika siswa bekerja sama melakukan tugas dan penelitian di komputer atau gawai cerdas mereka. Karya tersebut bersifat visual, auditori, dan kinestetik. Ini juga melibatkan interaksi dengan orang lain.

Otak Mencari Pola

Informasi yang tersimpan di otak kita disimpan sebagai pola. Saat kita melihat seseorang menulis sebuah kata, otak kita mulai mengambil kata-kata yang mungkin sesuai dengan polanya. Ini menarik, dan membutuhkan koneksi langsung. Misalnya, pertimbangkan urutan ini:

GA (Kata apa ini? gagal? gajah? gaji?)

GAR (Hmm. Huruf lain membuat otakku mencari pola lain. garpu? garis?)

GARI (Sekarang saya yakin itu garis atau garing ?. Apakah saya benar?)

Beginilah cara kerja otak. Informasi harus masuk akal ke otak atau akan diabaikan. Faktanya, 99 persen informasi yang masuk diabaikan. Mengingat banyaknya pesan yang membombardir otak, segala sesuatu yang tidak familiar, tidak masuk akal, atau tidak terkait dengan kelangsungan hidup dapat dengan cepat dibuang.

Daniel Pink (2005) percaya bahwa era saat ini membutuhkan cara berpikir yang disebutnya “konsep tinggi”, yang mencakup kemampuan untuk mendeteksi pola dan menciptakan sesuatu yang baru. Satu-satunya cara untuk mendeteksi pola adalah dengan menyimpannya di otak.

Sangat penting bahwa pendidik mengambil informasi baru, membantu siswa “melihat” pola, mengaitkan pola tersebut dengan pola lama yang tersimpan di otak, dan membuat yang baru. Strategi pembelajaran era digital harus mempertimbangkan hal ini dengan baik.

Otak Mencari Arti

Sama seperti otak mencari pola, otak juga mencari makna, terutama makna pribadi. Apa yang berarti bagi siswa kita mungkin sangat berbeda dengan apa yang berarti bagi kita. Karena otak ingin belajar (dan, pada kenyataannya, dendrit itu selalu bergerak dan mencari informasi baru), ia akan mencoba memahami informasi baru dan akan menemukan informasi itu lebih bermakna jika dikaitkan dengan kehidupan pribadi.

Memori relasional terjadi ketika siswa dapat menghubungkan pembelajaran baru dengan sesuatu yang telah terjadi sebelumnya dalam kehidupan mereka. Menambah pola atau peta yang sebelumnya disimpan dan dikuasai membuat pembelajaran menjadi lebih mudah (Willis, 2006).

Generasi Net, lebih dari yang lain, akan menjadi rekan pengajar di kelas.

Itu selalu penting bagi siswa untuk menjadi guru untuk meningkatkan memori konten mereka, tetapi hari ini kita memiliki siswa yang cukup mampu mengubah cara kita memandang pendidikan. Fasilitas mereka dengan penelitian, kemampuan unik mereka untuk memindai halaman Web dalam hitungan detik, dan penggunaan alat mereka yang luar biasa untuk menyelesaikan pekerjaan menempatkan mereka di liga mereka sendiri. Mereka tidak takut dengan proses penemuan jika mereka dapat menggunakan peralatan yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.

Siswa-siswa ini bersikeras untuk menemukan makna dan bersenang-senang. Mereka memiliki kemampuan untuk menunjukkan jalan kepada kita. Bahkan siswa muda kami akan menunjukkan kepada kami kebutuhan mereka dan cara mereka terhubung dengan kurikulum. Beberapa dari anak-anak ini mungkin tidak berpengalaman dengan komputer dan iPod seperti yang lain, tetapi mereka mungkin ahli dalam fotografi dan bentuk visual lainnya. Kita harus menjadi pengamat yang cermat terhadap ruang kelas kita dan mencari peluang untuk membuat kurikulum lebih bermakna.

Stres Menghambat Pembelajaran

Siswa tidak boleh stres, mereka harus gembira dalam belajar. Bapak pendidikan kita telah lama punya konsep bahwa sekolah adalah sebuah taman siswa yang menyenangkan.

Siswa yang stres tidak akan bisa belajar dengan maksimal. Lingkungan belajar harus terbebas dari tekanan. Baik tekanan dari guru mereka maupun tekanan dari lingkungan sekitar.

Belajar Adalah Perkembangan

Saat otak tumbuh dan berkembang, ia siap untuk berbagai jenis pembelajaran. Prinsip ini diterapkan di era industri dan era informasi, dan berlaku saat ini di era digital, atau yang disebut dengan era konseptual.

Otak tidak akan berkembang sepenuhnya sampai pertengahan usia 20-an, dan akan mengikuti tahap perkembangan yang mungkin bertepatan dengan rentang usia tertentu. Namun, setiap otak berkembang dengan kecepatannya sendiri. Setiap individu bisa berbeda-beda.

Penggunaan media pembelajaran interaktif atau adaptif bisa menjadi strategi jitu dalam pembelajaran era digital. Mengapa demikian ? karena dengan media ini setiap siswa akan mampu mengembangkan kemampuan otaknya sesuai dengan kecepatan yang bisa mereka lakukan.

Otak itu Sosial

Interaksi sosial bisa menjadi hal yang merepotkan bagi para siswa generasi digital natives. Bukan karena mereka antisosial; sebaliknya, interaksi fisik dengan orang lain menjadi sangat minim karena waktu yang mereka habiskan dengan teknologi. Salah satu komponen kecerdasan sosial seperti yang dijelaskan oleh Goleman (2006) adalah kognisi sosial (hanya memahami bagaimana dunia sosial bekerja). Di dalam kelas, kemampuan ini dapat mencakup komponen-komponen berikut:

  • Mengenali kelompok atau kelompok sosial yang berbeda
  • Mengenal teman dekat teman sekelas
  • Mengetahui cara berteman
  • Mengetahui cara menunjukkan empati
  • Memiliki kemampuan untuk mendengarkan
  • Mengetahui kapan dan bagaimana menunjukkan emosi
  • Mengenali emosi yang diekspresikan secara wajah dan dengan gerak tubuh

Mengajar siswa kognisi sosial perlu membantu mereka mengembangkan hubungan di mana untuk berlatih menjadi orang sosial. Pendekatan tim mungkin dapat membantu. Kemungkinan lain adalah pengelompokan yang fleksibel, memasangkan siswa, bermain peran, dan mendiskusikan peristiwa yang mungkin telah dilihat siswa Anda di televisi sehubungan dengan interaksi dan perilaku sosial.

 

Demikianlah sedikit yang bisa kami sampaikan mengenai Prinsip Berbasis Otak Dalam Strategi Pembelajaran Era Digital. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa lagi dengan kami di lain bahasan (maglearning.id).

 

Loading...

Tinggalkan Balasan