Masa Depan Siswa Diantara Ambisi Orang Tua, Guru, dan Pemerintah

Masa Depan Siswa Diantara Ambisi – Ketika ramai pembelajaran online sebagai antisipasi penularan virus Covid-19 diterapkan di beberapa wilayah di Indonesia, justru beberapa teman mengeluh ke saya karena harus menemani pembelajaran anaknya padahal dia sendiri juga masih harus menyelesaikan tugas-tugas kantornya. Saya juga melihat beberapa postingan sosial media teman yang menunjukkan banyaknya tugas yang diberikan gurunya.

Saya tidak berniat untuk mengritik guru, sebab apapun itu pasti guru bermaksud baik dan berusaha maksimal agar siswanya tetap belajar walaupun di rumah. Namun, ada baiknya kalau kita diskusikan beberapa hal terkait pembelajaran online ini. Tapi sebelum itu marilah kita lihat beberapa pihak yang terkait dengan pembelajaran siswa ini, terutama terkait dengan kepentingan masing-masing.

Siswa. Pihak pertama tentu saja siswa itu sendiri. Ia mulai belajar sejak kali pertama ruh ditiupkan. Sejak dalam kandungan dia sudah mulai belajar. Belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan serta tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi disekitarnya, proses belajar ini berlangsung seterusnya hingga ia dewasa dan kemudian meninggal. Tentunya tidak ada seorangpun yang ingin gagal dalam kehidupannya, ia ingin hidup dan meninggal dalam keadaan bahagia.

Sekolah adalah salah satu bagian dari proses kehidupaan itu dan sering menjadi salah satu penentu keberhasilan. Walaupun pilihan sekolah atau tidak, maupun sekolah mana yang dipilih kadang ditentukan oleh orang tua tetap saja mereka yang menjalaninya.

Pendidikan penting bagi setiap anak, tapi lebih penting lagi bagaimana dia belajar sesuai dengan kebutuhannya. Mereka harus diajari bagaimana berpandangan bahwa belajar sangat penting bagi masa depannya. Membuka pemikiran mereka, bahwa masa depan mereka sangat panjang, belajar adalah kunci keberhasilannya.

Orang Tua. Merekalah yang kali pertama menentukan arah pembelajaran anak-anaknya. Pengaruh orang tua sangat besar pada perilaku dan pemikiran anak. Lingkungan terdekat dan seharusnya yang paling sering diakses oleh anak adalah keluarganya.

Setiap orang tua tidak ingin anaknya gagal di kemudian hari. Namun, orang tua sering lupa bahwa masa depan anak bukanlah masa depan orang tua. Anak hidup di jaman yang berbeda dengan orang tua, maka ungkapan bahwa anak bukanlah revisi dari kegagalan orang tuanya adalah benar adanya. Mereka punya masa depan sendiri, punya autonomi pemikiran sendiri dan yang paling penting adalah masalah yang harus dihadapi sendiri di masa depan. Tugas orang tua hanyalah mendampingi dan mendukung setiap keputusan positif anak dan berusaha memberi pandangan yang berbeda agar dipertimbamgkan oleh mereka.

Pekerjaan sekolah anak bukanlah pekerjaan orang tuanya. Biarlah mereka berusaha untuk menyelesaiakan pekerjaannya sendiri dengan penuh tanggung jawab. Orang tua hanya sebatas mendukung bukan mengambil alih.

Kesalahan yang dilakukan anak adalah wajar, sebagaimana orang tuanya dulu juga melakukan kesalahan-kesalahan yang justru akan membuat setiap orang tua menjadi lebih baik. Jangan paksakan anak-anak kita untuk hidup tanpa kesalahan karena dari kesalahannya itulah mereka bisa belajar.

Guru. Ketika di sekolah merekalah yang paling dekat dengan siswa. Pembelajaran di sekolah merupakan tanggungjawab guru. Beliau lah yang merencanakan, merancang, dan mengendalikan pembelajaran di kelas, sekaligus menyiapkan perangkat-perangkatnya.

Tidak ada seorang guru pun yang menginginkan siswanya gagal mencapai tujuan pembelajaran. Walaupun setiap siswa mempunyai kemampuan, gaya belajar, minat, dan bakat yang berbeda-beda guru akan tetap berusaha mendorong mereka sampai batas kemampuan maksimal mereka.

Namun, sering kali seorang guru terjebak pada keputusan sulit ketika masih banyak yang memandang bahwa ukuran keberhasilan guru adalah kelulusan siswa, serta capaian nilai ujian yang tinggi. Keadaan ini kadang membuat guru terpaksa mengambil jalan pintas dan akhirnya terlalu fokus pada tuntutan-tuntutan praktis seperti ini.

Seringkali keberhasilan seorang guru dalam mengajar hanya dilihat dari nilai akhir yang diperoleh oleh para siswanya dalam ujian kelas atau sekolah. Padahal perjuangan guru tidak seharusnya dinilai dari satu aspek saja dan jangan lupa karakteristik setiap siswanya juga berbeda-beda. Capaian pembelajaran siswa bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan seorang guru.

Kepala Sekolah. Sebagai pimpinan sebuah lembaga pendidikan tentunya selalu berharap lembaga yang dipimpinnya berjalan sesuai yang diharapkan. Misi lembaga harus selalu diupayakan melalui serangkaian perencanaan dan implementasi program yang tepat. Kepala sekolah juga bertanggung jawab atas terlaksananya proses pembelajaran di lembaganya.

Banyak sekali ukuran keberhasilan seorang kepala sekolah dalam memimpin lembaganya ini, walaupun awam lebih familiar dengan kualitas lulusan yang dihasilkan. Akhir-akhir ini justru diartikan lebih sempit oleh sebagian besar masyarakat, dimana sekolah dianggap berhasil bila mampu menempatkan siswanya di daftar peraih nilai UN terbaik. Entahlah bila ternyata UN sekarang sudah dihapus, parameter apa lagi yang akan digunakan oleh masyarakat karena sekolah juga sudah dibuat sistem zonasi. Terlepas dari kekurangan konsep dan penerapan sistem ini, paling tidak sudah turut menyadarkan kita bahwa nilai UN bukanlah parameter keberhasilan Kepala Sekolah.

Mungkin sebagian besar siswa menjadi bingung dengan kebijakan ini. Bahkan ada yang menyesalkan UN dihapus, lalu bertanya buat apa kami susah-susah belajar selama ini?. Kalau hanya sekadar nilai UN sebenarnya tidak perlu lama-lama berada di bangku sekolah cukup latihan soal-soal UN saja yang banyak dijamin nilai UN bagus. Namun hidup lebih dinamis dan kompleks. Tidak ada jaminan bagi siswa peraih nilai UN tertinggi hidupnya bakal lebih bahagia.

Agaknya sekarang Kepala Sekolah menjadi lebih ringan dalam menghadapi tekanan-tekanan tuntutan prestasi belajar siswa. Namun jangan lupa ukuran keberhasilan siswa masih banyak dan justru lebih berat dari UN. Saat ini tuntutan capaian pembelajaran sudah mulai bergeser ke arah outcome. Kepala sekolah harus dengan bijak mengarahkan seluruh sumber daya yang dimiliki sekolah dalam mendorong pencapaian pembelajaran siswa yang lebih komprehensif.

Kepala Dinas Pendidikan. Sebuah sekolah pasti berada dalam wilayah koordinasi Dinas Pendidikan Setempat. Bicara mengenai kepentingan Dinas Pendidikan wilayah, ada banyak aspek perhatian mereka dan yang terkait dengan siswa biasanya adalah prestasi, baik prestasi akademik maupun non akademik. Seringkali Kepala Dinas Pendidikan menargetkan capaian prestasi tertentu pada setiap sekolah di wilayahnya.

Pemerintah. Setiap pimpinan pemerintahan apapun levelnya, baik di tingkat kabupaten sampai tingkat pusat pasti ingin lembaga yang dipimpinnya terus maju dan berkembang. Apalagi pendidikan adalah salah satu unsur penting dari masa depan bangsa. Jadi sangatlah wajar bila selalu ada perubahan kebijakan ke arah perbaikan. Asal tidak terlalu ekstrim dan justru kontraproduktif maka kebijakan ini masih bisa diterapkan, apalagi bila orientasi kebijakan itu bersifat jangka panjang. Namun sayangnya banyak yang menerjemahkan berbagai kebijakan dalam konteks kelembagaan bukan kesiswaan. Pada praktiknya justru bisa merugikan para siswa.

Nah, ternyata banyak sekali kepentingan dalam lingkungan pembelajaran siswa. Semua punya orientasi tersendiri dan bahkan ada yang bertolak belakang dengan kepentingan siswa. Terlebih bila kepentingan pihak lain selain siswa bersifat jangka pendek dan tidak berorientasi kesiswaan. Misalnya tuntutan kelulusan atau capaian nilai tes tertentu. Masih sangat banyak yang berpandangan bahwa ini sangat baik, toh juga demi kebahagiaan siswa. Ingat nilai bukan satu-satunya penentu keberhasilan kehidupan di masa depan, masih banyak yang lain, terlebih bila tes yang dirancang hanya memperhatikan unsur kognitif saja.

Sebagai analogi, saya mempunyai seorang anak perempuan yang saat ini masih kelas 6 sekolah dasar. Pendidikan dalam keluarga kami selalu berusaha menyeimbangkan unsur kognitif, afektif, maupun psikomotor. Singkat cerita, anak saya ini cukup peka pada kondisi atau perasaan seseorang, bila mengetahui ibunya sakit atau lelah ia sering menawarkan teh hangat yang dia buat pada ibunya. Suatu ketika pada kelas 4 ia mempunyai banyak pekerjaan rumah dari sekolah dan kebetulan ibunya sakit, ia malah kecewa dan khawatir tugasnya tidak selesai karena tidak ada yang membantunya, alih-alih menawarkan teh hangat. Kami melihat hal ini adalah perubahan ekstrim yang justru dipicu oleh pembelajaran sekolah. Ia sudah berubah karena tekanan di lingkungan sekolah. Padahal kami tidak pernah memberi target nilai apapun dalam pembelajaran di sekolahnya, bahkan tidak kami haruskan untuk berangkat ke sekolah tiap hari.

Singkat cerita, masalah ini sudah selesai. Memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan usaha yang konsisten untuk menyadarkan anak saya ini tentang kondisi lingkungan dan tanggung jawab masing-masing individu sesuai dengan perannya masing-masing. Baik sebagai guru, siswa, orang tua, maupun pimpinan sekolah dan lainnya. (maglearing.id)

Loading...

Tinggalkan Balasan