Cerdas di Dalam Islam

Manusia yang Cerdas di Dalam Islam

Sampai saat ini, cerdas selalu didefinisikan dengan orang yang pandai, terkenal, public figure, dan sebagainya, padahal cerdas dalam Islam, ukurannya tidaklah diukur dengan seberapa pintar, atau pandainya seseorang. Islam memang mewajibkan setiap penganutnya untuk belajar, urusan akhir ia cerdas atau tidak tergantung pada Allah Sang Pemilik Segala Lautan Ilmu. Seseorang hanya perlu bertawakal jika memang telah berupaya mendapatkan ilmu.

Di dalam Islam, manusia yang cerdas adalah orang yang senantiasa mengingat kematian, karena dia menyadari esensi kehidupan yang fana ini. Tak ada yang kekal selain Allah, dan tak selamanya manusia menghuni bumi yang mungkin tak lama lagi akan runtuh.

Di dalam hadis, disebutkan untuk memperbanyak mengingat kematian. Hal ini disampaikan oleh Rasulullah,

“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan, yaitu kematian.” (HR. Tirmidzi)

Bagi sebagian orang, menafsirkan bahwa perintah ini menuntut mereka untuk mengingat sesuatu yang masih jauh, menyeramkan, mengerikan, dan sebagainya, contohnya memikirkan nasib keluarganya yang bisa saja terlantar, memikirkan nasib anaknya yang pasti akan menjadi yatim,  sementara istrinya akan menjanda, atau hal lainnya.

Hal-hal tersebut tentu akan membuat manusia semakin sulit untuk mengingat kematian, padahal mati tak pernah memberitahu atau bertanya kepada kita, tentang kesiapan kita ketika dijemputnya. Padahal, maksud dari memperbanyak mengingat kematian bukanlah memikirkan hal-hal tersebut yang sifatnya duaniawi semata. Makna penting dari hadis tersebut adalah agar berhenti memikirkan kehidupan dunia yang sementara ini, dan mencari makna hakikatnya.

Dunia hanya sebatas persinggahan yang kelak akan ditinggalkan, layaknya sebuah bus yang singgah beristirahat saat melakukan perjalanan di terminal. Dunia hanya tempat menanam, sementara akhirat, kehidupan setelah kematianlah tempat menuai.

Dan satu-satunya jalan untuk menempuh kehidupan yang sesungguhnya ialah kematian, tak ada jalan lain. Apakah hadis di atas meminta kita untuk tidak menikmati hidup di dunia? Hal ini dijelaskan oleh seorang Syaikh yang bernama ‘Abad al-Aziz bin Baz ra. Bahwa maksud dari memutus kenikmatan pada hadis tersebut adalah agar manusia senantiasa memikirkan kehidupan akhirat yang notabenenya adalah kehidupan yang abadi, di mana semua balasan akan diberikan.

Tidaklah kita hidup di dunia hanya untuk bersenang-senang semata kemudian melupakan hakikat kehidupan dan kematian. Lebih rinci, beliau menyebutkan, bahwa mengingat kematian bertujuan agar kita dapat menyiapkan bekal sebaik-baiknya untuk di akhirat kelat. Sementara maksud memutus kenikmatan dunia adalah mendekatkan perkara-perkara yang berkaitan dengan akhirat.

Dengan mengingat kematian, seseorang akan mendapatkan tiga hal dalam hidupnya, yakni pasti akan segera melakukan taubat nasuha, selalu menerima apa pun yang Allah kehendaki, dan senantiasa semangat dalam beribadah. Sebaliknya, jika seseorang melupakan kematian, maka ia akan terus menunda-nunda untuk bertaubat, selalu tidak cukup atau tidak senang dengan takir yang sudah ada, hingga malas untuk beribadah.

Maka, jelas sekali, bahwa perintah mengingat kematian tidak sama sekali memutus kenikmatan yang ada di dunia, karena semua perkara di dunia bisa saja bernilai ibadah dan mendatangkan taqwa. Ya kan? Misalnya, refreshing ke atas gunung. Tujuan yang terlihat mungkin untuk bersenang-senang, namun, bukankah akan bernilai ibadah jika diniatkan untuk bertadabbur? Ia kan? Tentu hal ini juga akan meningkatkan ketaqwaan dan membuat manusia yang kerdil ini terus mensyukuri nikmatnya.

Cukup sekian bahasan kita tentang orang cerdas dalam Islam. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang cerdas, orang-orang yang senantiasa mengingat kematian, kapan pun dan di mana pun itu. Selalu bersyukur atas karunia Allah Swt. mudah-mudahan hidup kita semakin bahagia, bermanfaat, dan menyenangkan (maglearning.id).

Loading...

Tinggalkan Balasan