Tipologi Pemikiran Pendidikan Islam

Tipologi Pemikiran Pendidikan Islam

Tipologi Pemikiran Pendidikan Islam – Tipologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pengelompokan berdasarkan tipe atau jenis secara lebih spesifik. Pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kemasyarakatannya dan dalam alam sekitarnya melalui proses pendidikan yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam.

Pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah paradigma pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik secara paripurna.

Pemikiran pendidikan Islam memiliki empat tujuan, salah satunya yaitu membantu menemukan masalah-masalah pendidikan dan sekaligus memberikan cara untuk mengatasinya berdasarkan cara kerja yang sistematik, radikal, universal, mendalam, spekulatif dan rasional. Tipologi pemikiran pendidikan Islam sangat beragam dan memiliki pandangan masing-masing terhadap pelaksanaan serta proses pendidikan.

Tiga Alur Pemikiran Pendidikan Islam

Dalam kajian pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, beberapa ahli pendidikan Islam menggarisbawahi adanya tiga alur pemikiran dalam menjawab persoalan pendidikan, yaitu:

  • pertama, kelompok yang berusaha membangun konsep (filosofis) pendidikan Islam, disamping melalui al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama, juga mempertimbangkan kata sahabat, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, serta pandangan-pandangan pemikir Islam.
  • Kedua,kelompok yang berusaha mengangkat konsep pendidikan Islam dari al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga konsep filsafatnya hanya berasal dari kedua sumber ajaran Islam tersebut.
  • Ketiga, kelompok yang berusaha membangun pemikiran (filsafat) pendidikan Islam melalui al-Qur’an dan al-Hadits, dan bersedia menerima setiap perubahan dan perkembangan budaya baru yang dihadapinya untuk ditransformasikan menjadi budaya yang Islami.

Disisi lain, pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam juga dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang menjawab tantangan perubahan zaman serta era modernitas. Sehubungan dengan tipologi pemikiran pendidikan Islam, Abdullah (1996) mencermati adanya empat model pemikiran keislaman, yaitu:

1. Tekstualis Salafi

Pemikiran Islam model ini berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dengan melepaskan diri dan kurang begitu mempertimbangkan situasi kongkret dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer) yang mengitarinya. Masyarakat ideal yang diidam-idamkan adalah masyarakat salaf, yakni struktur masyarakat era kenabian Muhammad SAW dan para sahabat yang menyertainya.

Rujukan utama pemikirannya adalah kitab suci Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Tanpa menggunakan pendekatan keilmuan yang lain. Sehingga model pemikiran ini terlihat kurang peka terhadap perubahan dan hanya menjadikan masyarakat salaf sebagai parameter dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modernitas.

2. Tradisionalis Mazhabi

Dalam pandangan pemikiran model tradisional salafi, ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dipahami melalui bantuan khazanah pemikiran Islam klasik, tetapi sering kali kurang begitu memperhatikan situasi historis dan sosiologis masyarakat setempat di mana ia turut hidup di dalamnya.

Hasil pemikiran ulama’ terdahulu dianggap sudah pasti dan absolut tanpa mempertimbangkan dimensi historisitasnya. Masyarakat muslim yang diidealkan adalah masyarakat muslim era klasik, dimana semua persoalan keagamaan dianggap telah terkupas habis oleh para ulama atau cendekiawan muslim terdahulu.

Pola pikirnya selalu bertumpu pada hasil ijtihad ulama’ terdahulu dalam menyelesaikan persoalan ketuhanan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan pada umumnya. Kitab kuning menjadi rujukan pokok, dan sulit untuk keluar dari mazhab atau pemikiran keislaman yang terbentuk beberapa abad lalu. Model pemikiran ini lebih menonjolkan wataknya yang tradisional dan mazhabi.

Watak tradisionalnya diwujudkan dalam bentuk sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada nilai-nilai, norma dan adat kebiasaan serta pola-pola pikir yang ada secara turun menurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio historis masyarakat yang sudah mengalami perubahan dan perkembangan sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan watak mazhabinya diwujudkan dalam bentuk kecenderungannya untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relatif mapan.

3. Modernis

Model pemikiran Islam modernis berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan hanya semata-mata mempertimbangkan kondisi dan tantangan sosio-historis dan kultural yang dihadapi oleh masyarakat Muslim kontemporer, tanpa mempertimbangkan muatan-muatan khazanah intelektual muslim era klasik yang terkait dengan persoalan keagamaan dan kemasyarakatan.

Model ini tidak sabar dalam menekuni dan mencermati pemikiran era klasik, malahan lebih bersikap potong kompas, yakni ingin langsung memasuki teknologi modern tanpa mempertimbangkan khazanah intelektual muslim dan bangunan budaya masyarakat muslim yang terbentuk berabad-abad. Obsesi pemikirannya adalah pemahaman langsung terhadap nash Al-Qur’an dan langsung loncat ke peradaban modern.

4. Neo Modernis

Kalangan Neo Modernis untuk memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah harus berupaya mengikut sertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia teknologi modern.

Jadi, model ini selalu mempertimbangkan Al-Qur’an dan Al-Sunah, khazanah pemikiran Islam klasik, serta pendekatan-pendekatan keilmuan yang muncul pada abad ke 19 dan 20 M. Jargon yang sering dikumandangkan adalah: “ al-Muhafazah ‘ala al-Qadim al-Salih wa al-Akhzu bi al-Jadid al-Aslah”, yakni memelihara hal-hal yang baik yang telah ada sambil mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.

 

Demikianlah sedikit bahasan kami mengenai tipologi pemikiran pendidikan Islam. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa kembali di lain kesempatan. (maglearning.id)

Loading...

Tinggalkan Balasan