Dampak dan Masalah Subsidi Pupuk

Petani harus membayar biaya transportasi dari pengecer sampai ke lahan mereka, sehingga hanya petani yang lokasinya dekat dengan kios pengecer resmi atau yang membeli pupuk dalam jumlah besar yang menikmati pupuk dengan HET. Dengan mempertimbangkan kepraktisan dan ongkos angkut, banyak petani yang lebih memilih membeli pupuk di kios tidak resmi walaupun harganya di atas HET.

Dampak Negatif Masalah Subsidi Pupuk

Setelah berjalan lebih dari empat dasawarsa, subsidi pupuk ternyata menimbulkan dampak negatif baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Dampak negatif yang cukup menonjol adalah:

  1. dualisme pasar,
  2. penggunaan pupuk berlebihan,
  3. industri pupuk tidak berkembang secara optimal, dan
  4. biaya lebih besar dari manfaat.

Dampak negatif yang pertama adalah subsidi pupuk menimbulkan dua jenis dualisme pasar, yaitu 1) dualisme antara pasar pupuk bersubsidi dengan HET dan pasar pupuk nonsubsidi yang mengikuti mekanisme pasar, dan 2) dualisme antara pasar domestik dan pasar internasional. Dualisme pasar antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi menimbulkan disparitas harga yang cukup besar antara HET dan harga pasar. Pada tahun 2006, harga HET pupuk urea adalah Rp1.200/kg, padahal harga pupuk nonsubsidi mencapai Rp5.500/kg. Hal ini mendorong terjadinya penyimpangan, yaitu pupuk bersubsidi di jual ke pasar nonsubsidi yang meliputi perusahaan perkebunan atau petani nonpangan (Herman et al. 2005).

Kebijakan subsidi pupuk juga menimbulkan dualisme pasar antara pasar domestik dan pasar internasional. Disparitas harga yang tinggi antara harga di pasar domestik dan di pasar internasional mendorong terjadinya penyelundupan atau ekspor secara ilegal. Pada tahun 2008, disparitas harga antara harga domestik dan pasar internasional bahkan di atas 300%, sehingga mendorong terjadinya kelangkaan pupuk di dalam negeri (PSEKP 2006; Garsoni 2009).

Dampak negatif yang kedua dari kebijakan subsidi pupuk adalah penggunaan pupuk yang berlebihan. Untuk urea, sebagian petani menggunakan pupuk dengan takaran 400600 kg/ha, padahal takaran anjuran berkisar antara 200250 kg/ha. Hal ini menyebabkan munculnya gejala pelandaian produktivitas, di samping menurunkan kualitas fisik, kimia, dan biologi tanah (Herman et al. 2005; PSE-KP 2009).

Dampak negatif ketiga dari subsidi pupuk adalah subsidi yang diterapkan kurang kondusif untuk pengembangan industri pupuk nasional. Karena harga yang dipatok lebih rendah, beberapa produsen pupuk kesulitan memperoleh kontrak pasokan gas, baik untuk perpanjangan kontrak maupun kontrak baru. Produsen gas bumi lebih mengutamakan konsumen yang mampu membeli gas dengan harga yang lebih tinggi. Akibatnya, kapasitas terpakai pabrik pupuk nasional menjadi tidak optimal, yaitu hanya 71 – 83% dari kapasitas terpasang.

Dampak negatif keempat adalah HET menyebabkan opportunity loss bagi produsen pupuk, yang diperkirakan mencapai Rp4 triliun selama 5 tahun. Pasar pupuk dalam negeri yang terdistorsi menyebabkan industri pupuk kurang menarik bagi investor. Sebagai contoh, produsen harus menjual pupuk Rp2.200/ kg, padahal harga pupuk nonsubsidi mencapai Rp5.500/kg sehingga perusahaan pupuk kehilangan penerimaan Rp3.300/kg (PSE-KP 2007).

Opportunity loss menyebabkan pabrik pupuk memiliki kemampuan yang rendah dalam menghimpun dana bagi peremajaan maupun pengembangan pabrik. Pemberian subsidi melalui harga gas kurang merangsang pabrik pupuk urea untuk meningkatkan efisiensi produksi melalui penghematan pemakaian gas.

Hasil analisis manfaat dan biaya menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah lebih besar daripada manfaat yang diterima petani (Syafa’at et al. 2006; Sjari 2007). Biaya subsidi umumnya tidak setimpal dengan manfaat yang diperoleh, bahkan sering menjadi tekanan politik sehingga subsidi menjadi permanen (World Bank 2009a). Hasil analisis Susila dan Sinaga (2005) juga menyebutkan bahwa kebijakan yang berkaitan dengan harga output lebih efektif dibanding kebijakan subsidi input (pupuk) dalam mendorong peningkatan produksi dan produktivitas.

Dampak Positif Masalah Subsidi Pupuk

Dampak Positif Masalah Subsidi Pupuk

Di samping menimbulkan dampak negatif, kebijakan subsidi pupuk juga berdampak positif terhadap pembangunan pertanian dan kesejahteraan petani. Menggabungkan argumen yang dikemukakan oleh Hutagaol et al. (2009), PSE-KP (2009), dan World Bank (2009b), secara umum subsidi pupuk berdampak positif terhadap:

  1. peningkatan modal petani,
  2. pengembangan pasar pupuk yang sebelumnya belum berfungsi sehingga menekan biaya distribusi,
  3. adopsi teknologi dengan mengurangi risiko dalam pembelajaran teknologi baru, meningkatkan efektivitas penyuluhan, dan organisasi petani,
  4. peningkatan produktivitas petani, dan
  5. perbaikan pendapatan usaha tani.

Dampak positif pertama yang bersifat langsung dari subsidi pupuk adalah meningkatnya ketersediaan modal bagi petani (World Bank 2009b). Dengan harga pupuk yang disubsidi, sebagian modal petani yang seharusnya digunakan untuk membeli pupuk dapat dialokasikan untuk membeli  input yang lain. Kontribusi biaya untuk pupuk berkisar antara 9 – 22% dari total biaya, bergantung pada takaran dan teknologi yang ditetapkan. Jika pada awalnya petani menggunakan pupuk dengan takaran lebih rendah, subsidi pupuk mendorong mereka meningkatkan takaran pupuk menjadi optimal.

Dampak positif kedua adalah subsidi pupuk dapat mengatasi pasar pupuk yang belum bekerja secara efisien atau terjadi kegagalan pasar (market failure). Struktur pasar yang kurang kompetitif, asimetri kekuatan informasi antara penjual dan pembeli sehingga margin keuntungan serta biaya distribusi yang tinggi, dapat ditekan dengan kebijakan subsidi pupuk. Argumen ini valid jika subsidi pupuk dapat menyediakan pupuk sesuai dengan azas enam tepat, yaitu tepat jumlah, kualitas, waktu, harga, jenis, dan tempat.

Dampak positif ketiga dari subsidi pupuk adalah mendorong adopsi teknologi. Hal ini valid untuk petani yang belum mengenal secara baik manfaat pupuk, termasuk takaran pupuk yang berimbang/ Jurnal Litbang Pertanian, 29(2), 2010 47 optimal. Dengan adanya subsidi pupuk, petani tidak khawatir menggunakan teknologi baru (jenis dan takaran pupuk) karena harga pupuk disubsidi (World Bank 2009b). Hal ini didukung oleh Hutagaol et al. (2009) yang menyebutkan bahwa subsidi pupuk meningkatkan efektivitas kegiatan penyuluhan dan organisasi petani.

Ketiga dampak positif yang diuraikan sebelumnya menciptakan dampak positif keempat, yaitu meningkatkan produktivitas ( Syafa’at et al. 2006; Hutagaol et al. 2009; PSE-KP 2009; World Bank 2009b). Dengan menggunakan konsep elastisitas produktivitas terhadap harga pupuk, Syafa’at et al. (2006) menganalisis dampak subsidi pupuk terhadap produktivitas beberapa tanaman pangan (Tabel 2). Secara umum, elastisitas bertanda negatif, yang berarti penurunan harga pupuk (subsidi harga pupuk) akan meningkatkan produktivitas. Sebagai contoh, elastisitas produktivitas padi terhadap  harga pupuk urea, SP36, danZA masing-masing adalah -0,0681, 0,0799, dan 0,0086. Jika harga pupuk urea turun 1% maka produktivitas padi akan meningkat 0,0681%. Disebutkan pula bahwa secara nasional, penghapusan subsidi pupuk menurunkan produktivitas hingga 9,50%.

Resultan dari dampak positif subsidi pupuk adalah meningkatnya pendapatan atau keuntungan usaha tani. Pada usaha tani padi tahun 2006, kontribusi biaya pupuk mencapai 22,10% dari total biaya produksi yang mencapai Rp3,834 juta/ha. Dengan subsidi pupuk, kontribusi biaya pupuk menurun menjadi 17,40% dari total biaya yang mencapai Rp3,615 juta/ha. Dengan asumsi produktivitas sama (5,50 t GKP/ha), pengurangan subsidi pupuk akan menurunkan keuntungan petani sekitar 12% (PSE-KP 2006).

Simpulan Dampak dan Masalah Subsidi Pupuk

Kebijakan subsidi pupuk yang selama ini diterapkan telah menimbulkan beberapa masalah seperti distribusi yang tidak adil dan tidak tepat sasaran, dualisme pasar, penggunaan pupuk yang berlebihan, biaya subsidi lebih besar dari manfaat, serta menghambat pengembangan industri pupuk nasional. Di sisi lain, subsidi pupuk memberi dampak positif dalam meningkatkan modal petani, mendorong adopsi teknologi, serta meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani.

Terkait dengan dualisme tersebut, dua pilihan kebijakan diusulkan. Pilihan pertama adalah melanjutkan kebijakan subsidi pupuk dengan memperbaiki perencanaan, pemantauan, sistem distribusi, dan pemberdayaan penyuluh lapangan. Pilihan kedua adalah menggantikan kebijakan tersebut dengan kebijakan lain yang lebih efektif.

Kebijakan pengganti dapat berupa subsidi benih unggul, subsidi kredit, perbaikan dan pemeliharaan saluran irigasi, subsidi alat mesin pertanian, perbaikan pemasaran, dan pemberdayaan penyuluh lapangan. Dalam pelaksanaannya, pemerintah dapat memilih salah satu kelompok kebijakan pemerintah atau mengombinasikan kedua kelompok kebijakan tersebut sesuai dengan ketersediaan anggaran dan tingkat efektivitas pencapaian sasaran yang diinginkan (maglearning.id).

Tinggalkan Balasan