Konsep Kekuasaan Pada Kerajaan Islam di Indonesia – Bagaimanakah Konsep Kekuasaan Pada Kerajaan-Kerajaan Bercorak Islam Di Indonesia ? Itulah pertanyaan yang akan kita bahas pada tulisan ini.
Pada abad XIII M, XIV M, XV M, dan XVI M, di beberapa daerah Indonesia muncul dan berkembang kerajaan-kerajaan bercorak Islam. sebagian ada yang wilayahnya mirip dengan negara kota (citi state atau polis), sebagian lagi dapat berkembang menjadi kerajaan besar.
Pada umumnya pusat pemerintahannya di daerah pesisir (kecuali Pajang dan Mataram). Sumber utama pendapatan kerajaan pesisir adalah dari kegiatan perdagangan dan pelayaran. Contohnya adalah Samudera Pasai, malaka, Lamuri, Siak, Banten, Cirebon, Demak, Gersik, Banjar, Gowa, Tidore dan lain-lain.
Konsep Kekuasaan Pada Kerajaan Bercorak Islam
Dalam pandangan sebagian masyarakat, raja dipandang sebagai wakil Tuhan di dunia. Patuh dan taat kepada raja disamakan dengan patuh kepada Tuhan. Dilihat dari prinsip kekuasaan yang menjadi dasar kedudukan raja, terdapat kerajaan dengan sistem tribalisme dan patrimonialisme, dan sistem despotisme.
Sistem yang pertama (Tribalisme dan patrimonialisme) berintikan hubungan patrionclient antara raja dengan rakyat, sedangkan sistem yang kedua (depotisme) terjadi karena format kerajaan sudah menjadi lebih besar dengan birokrasi yang kompleks, dan kekuasaan terpusat pada raja.
Dari beberapa sumber serat, kita dapat mengetahui bahwa pribadi raja bersifat sakral (keramat) dan penuh kharisma. Menurut kitab Niti Sastra (Zaman Mataram), raja adalah unsur mutlak untuk menjamin ketertiban dalam suatu masyarakat. kedudukan raja berada di atas hukum.
Dalam Niti Praja, diumpamakan bahwa raja adalah dalang sedangkan rakyat merupakan wayangnya, raja berkuasa penuh terhadap rakyatnya. Hal ini cocok dengan ajaran Wulung Reh, bahwa raja menguasai sandang pangan dan hidup matinya rakyat. kedudukan raja telah dikehendaki Tuhan untuk berkuasa di seluruh wilayah negaranya. mengabaikan perintah raja berarti mengabaikan perintah Tuhan.
Dalam Serat Sewaka disebutkan bahwa sesuatu dari raja perlu diterima sebagai restu. bahkan dalam Serat Surya Ngalam dinyatakan bahwa tampil di hadapan raja tanpa ada panggilan terlebih dahulu dapat dihukum mati. Raja berkewajiban menegakkan keadilan dan memperhatikan kepentingan rakyatnya.
Konsep Jawa tentang raja termasuk dalam Serat Manu. Dinyatakan bahwa raja adalah makhluk yang lebih tinggi dari pada rakyat, bahkan dianggap sebagai dewa berwujud manusia. Kehendaknya menciptakan adat dan hukum (sabda pandita ratu), namun bila dia melalaikan kewajibannya maka namanya akan jatuh dan dapat diturunkan dari takhta.
Salah satu unsur penting dari sebuah kerajaan yang masih berakar ialah wahyu atau pulung (ada yang menyebut ndaru), yang dibayangkan sebagai segumpal sinar yang turun kepada seseorang. Penerima pulung mendapat legitimasi untuk menjadi penguasa dan pemimpin. Otoritasnya bersifat kharismatik. Selama pulung berada di keraton, raja berhak tetap memerintah dan duduk di atas singgasana kerajaan.
Konsep Kekuasaan Pada Kerajaan Islam dimana kekuasaan raja sering bersumber pada asal keturunan, karena itu silsilah raja berfungsi sebagai dasar legitimasinya. Raja-raja Mataram membuat silsilah dengan meruntut ke belakang sampai kepada Majapahit, berlanjut ke zaman pewayangan (mahabrata dan ramayana) yang bersifat mistis, terus ke zaman para nabi.
Bahkan sampai sekarang pun di kalangan masyarakat Jawa Tradisional masih kuat kepercayaannya bahwa setiap Raja Mataram mempunyai hubungan spiritual dengan penguasa Laut Selatan, yaitu Nyi Roro Kidul.
Dalam kronik Banjarmasin dan Kronik Kutai, raja-rajanya juga menarik garis belakang sampai Majapahit. beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Demak, Banten, dan Cirebon melacak genealogi rajanya kepada para wali, sebagai upaya memperoleh kharisma baru. Sementara itu, di kalangan raja-raja, dalam menarik garis genealogis mereka menghubungkan dirinya dengan negeri Arab sebagai asal nenek moyangnya.
Di daerah Sulawesi Selatan, genealogi kerajaan-kerajaan Gowa, Bone, Ternate, dan Soppeng dihubungkan kembali kepada raja pertama yang turun dari langit sebagai Tomenurung dan oleh rakyat diangkat sebagai rajanya.
Sejak islamisasi para raja tidak hanya memakai gelar sultan (contohnya Sultan Malik as Saleh), tetapi juga mengangkat dirinya sebagai khalifah (pemimpin pemerintah dan agama). Untuk Yogyakarta dan Surakarta gelar tersebut masih ditambah dengan panatagama (penata dan pengatur kehidupan beragama).
Contohnya Raden Mas Rangsang di Mataram bergelar prabu Pandita Anyakrakusuma, dan kemudian berubah menjadi Sultan Agung Senopati Ingalga Ngabdurahman Sayidin Panatagama. nama gelar raja-raja di Yogyakarta dan Surakarta juga mengandung makna kebesaran, seperti Hamengkubuwono, Paku Alam, Pakubuwono, dan Mangkunegoro.
Raja-raja Melayu sering memakai gelar syah, seperti gelar rasa Persia. gelar sunan yang pada awalnya dipakai para wali, kemudian disandang juga oleh raja-raja Mataram (Surakarta), Palembang, dan Kutai. Sedang di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Ternate, Sumbawa, dan Banten, gelar raja-rajanya adalah sultan.
Beberapa di antara mereka menambahnya dengan khalifatullah, misalnya Sultan Tidore dan Kutai. Selain itu, juga timbul tradisi memakai gelar dan nama Arab. Semuanya ini bertujuan untuk menambah kewibawaan sultan di mata rakyatnya.
Dengan gelar tersebut, para raja di kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Indonesia memandang dirinya sebagai pemegang kekuasaan duniawi dan rohani. Sebagai lambang kebesaran dan kekuasaannya, para raja memiliki sejumlah benda pusaka yang dianggap keramat.
Pusaka dan Konsep Kekuasaan Pada Kerajaan Islam
Pusaka dianggap memiliki kekuatan magis yang dapat mempengaruhi lingkungannya, mengembalikan keseimbangan alam dengan menangkal berbagai bahaya (wabah penyakit, bencana alam, atau gejolak sosial). Wujud pusaka bermacam-macam.
Di Jambi, pusaka berupa keris dan ujung tombak. di Indragiri, berupa payung dan gendang nobat (gendang tembaga). Di Sanggau berupa keris, pedang dan gong. Di kota Waringin, berupa pedang-kipas, dua buah singgasana, dan tombak. Di Surakarta dan Yogyakarta, berupa Sawunggaling (ayam jantan), banyak wide (angsa), kipas, tempat tembakau, tongkat jalan, alat-alat senjata, dan sebagainya.
Suatu hal yang menarik adalah bahwa raja-raja juga mempunyai (memelihara) makhluk-makhluk aneh, misalnya kebo bule (kerbau putih), orang kerdil, dan lain-lain.
Demikianlah bahasan ringkas kami mengenai konsep kekuasaan pada kerajaan Islam di Indonesia. Semoga tulisan ini ada manfaatnya dan sampai jumpa lagi di lain kesempatan (maglearning.id).
One comment