Walaupun sering disebut “Penjualan Konsinyasi”, dilihat dari aspek akuntansi dan pajak persoalan konsinyasi sesungguhnya bukan hanya penjualan, melainkan merembet sampai ke pengakuan persediaan, pajak, serta biaya-biaya yang timbul dari proses konsinyasi (biaya pengiriman/transportasi biaya komisi penjualan, dll).
Melalui tulisan ini saya ingin membahas mengenai konsinyasi dilihat dari aspek akuntansi dan perpajakan. Tetapi sebelum itu, mari kita lihat terlebih dahulu: apa itu konsinyasi dilihat dari aspek bisnis.
Apa Itu Konsinyasi (Dari Aspek Bisnis)?
Semua permasalahan dalam akuntansi dan pajak bersumber dari persoalan bisnis. Dengan kata lain, adalah mustahil seseorang bisa menguasai perlakuan akuntansi dan perpajakan, DENGAN TEPAT, tanpa memahami persoalan bisnisnya terlebih dahulu. Termasuk persoalan penjualan konsinyasi.
Apa itu konsinyasi, dilihat dari aspek bisnis?
Konsinyasi adalah metode pemasaran dimana pemilik barang (consignor) menitipkan barang dagangannya kepada pemilik toko/outlet/lapak (consignee) yang bertindak selaku agen pemasar.
Metode konsinyasi banyak digunakan oleh pemilik barang yang ingin memajang barang dagangannya tetapi tidak memiliki toko/outlet/lapak untuk maksud tersebut.
Misalnya: Anda hobby membuat t-shirt. Karena cukup diminati, anda bermaksud menjual t-shirt buatan anda, sayangnya anda belum punya toko. Dalam kasus seperti ini, anda memiliki 2 pilihan:
- Mengontrak toko – Di satu sisinya anda harus menanggung beban sewa toko, di sisi lainnya hasil penjualan bisa anda nikmati sendiri; atau
- Konsinyasi – T-shirt anda titipkan di toko milik orang lain sehingga di satu sisi anda tidak perlu menangggung beban sewa toko, tetapi anda memberi imbalan atas jasa penjualan kepada pemilik toko, di sisi lainnya—bisa dibilang pendapatan anda jadi berkurang.
Mana yang lebih menguntungkan? Tergantung masing-masing deal; Jika beban sewanya sangat rendah mungkin sewa lebih menguntungkan. Jika imbalan yang diberikan kepada pemilik toko tergolong rendah mungkin konsinyasi lebih menguntungkan. Yang jelas:
- Dengan sewa toko, artinya anda harus menanggung beban sewa—terlepas apakah nanti barangnya laku atau tidak. (dalam akuntansi ini disebut biaya tetap)
- Dengan konsinyasi, anda hanya memberi imbalan kepada pemilik toko (yang tiada lain adalah beban juga) hanya jika barang laku (terjual). (dalam akuntansi ini disebut biaya tak tetap)
Penting untuk diketahui, bentuk imbal-balik atas jasa penjualan yang dilakukan oleh pemilik toko (consignee), bisa jadi salah satu diantara tiga kemungkinan berikut ini (tergantung kesepakatan):
- Komisi – Biasanya dalam persentase tertentu (misal 20% dari penjualan)
- Selisih Kenaikan Harga – Pemiliki toko menaikan harga (dari harga yang dipatok oleh pemilik barang), dan menikmati selisih tersebut sebagai pendapatan.
- Kombinasi Keduanya – Bisa jadi, disamping memperoleh komisi pemilik toko juga menikmati selisih harga.
Nah, itulah konsinyasi secara umum, dilihat dari kacamata bisnis. Bagaimana jika dilihat dengan menggunakan kacamata Akuntansi?
Penjualan Konsinyasi Dilihat Dari Aspek Akuntansi
Seperti telah saya sampaikan di awal tulisan; dilihat dari aspek akuntansi, persoalan konsinyasi tidak hanya pengakuan penjualan saja, melainkan ada 5 persoalan secara keseluruhan, yaitu:
- Pengakuan Pendapatan (Revenue)
- Pengakuan Persediaan (Inventory)
- Harga Pokok Penjualan (Cost of Goods Sold)
- Pengakuan Komisi Penjualan (Sales Comission); dan
- Pajak (Tax)
Mari kita lihat satu-per-satu… (pajak akan kita bahas secara terpisah)
1. Pengakuan Pendapatan Dari Hasil Konsinyasi
Ada 2 pertanyaan yang harus dijawab:
(a) Kapan penjualan (dalam proses konsinyasi) diakui? – Penjualan diakui BUKAN pada saat barang dikirimkan ke toko, melainkan pada saat toko (dimana barang dikonsinyasikan/dititipkan) berhasil menjual barang yang dikonsinyasikan. Mengapa? Karena salah satu syarat pengakuan penjualan adalah: perpindahan risiko. Dalam hal ini risiko yang melekat pada barang persediaan (misal: rusak/hilang) baru berpindah ke pihak lain, setelah penjualan terjadi.
Misalnya: Pada tanggal 20 September 2022 anda mengirimkan 50 pcs t-shirt ke Toko Gaul dengan harga @Rp 95,000. Pada tanggal 25 Oktober 2022 Toko Gaul berhasil menjual 20 pcs t-shirt yang anda titikan. Maka penjualan (pendapatan) baru boleh diakui pada tanggal 25 Oktober 2022 (BUKAN 20 September 2022).
(b) Berapa besarnya nilai penjualan yang diakui? Nilai penjualan yang diakui BUKAN sebesar nilai barang yang dikirimkan ke toko, melainkan hanya sebesar barang yang berhasil dijual oleh toko dimana barang dikonsinyasikan.
Misalnya: Melanjutkan contoh di atas, maka nilai penjualan yang diakui hanya sebesar Rp 1,900,000 (=95,000 x 20 pcs), karena barang yang berhasil dijual, sejauh ini, hanya 20 pcs.
2. Pengakuan Persediaan Barang Dagangan Konsinyasi
Yang menjadi persoalan di sini adalah: Kapan saldo persediaan dikurangi (didebit)?
Saldo Persediaan didebit pada saat pengakuan penjualan dilakukan, yaitu pada saat toko berhasil menjual. Sedangkan pengiriman barang dari gudang ke toko, untuk sementara dianggap sebagai perpindahan lokasi persediaan semata—yang dalam buku persediaan diklasifikasikan sebagai “Persediaan Dikonsinyasikan”.
Misalnya: melanjutkan contoh sebelumnya. Pada tanggal 20 September 2022, untuk sementara, anda hanya mencatat perpindahan (mutasi) dari “Persediaan Barang Jadi” ke “Persediaan Dikonsinyasikan.” Sedangkan pendebitan saldo persediaan baru bisa dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2022 (saat toko berhasil menjual barang anda.)
Lebih jauh lagi. Pengurangan nilai persediaan diimbangi dengan pengakuan harga pokok penjualan di sisi lainnya, sehingga harga pokok penjualan juga baru boleh diakui pada saat toko berhasil menjual. Dengan demikian maka pengakuan HPP menjadi bisa disandingkan (matched) dengan pendapatan yang terbentuk pada periode yang sama.
Mengenai besarnya nilai persediaan yang didebit, adalah sejumlah persediaan yang berhasil dijual. Misanya: Jika harga pokok t-shirtnya adalah Rp 50,000/pc, maka besarnya saldo persediaan yang dikurangi adalah Rp 1,000,000 (=50,000 x 20 pcs)
3. Pengakuan Biaya Terkait Konsinyasi
Sama halnya dengan pengakuan Harga Pokok Penjualan, biaya-biaya terkait konsinyasipun harus bisa disanding dengan pendapatan yang timbul pada periode yang sama (matching principle).
Ada beberapa jenis biaya yang lumrah timbul, terkait dengan konsinyasi, diantaranya:
- Biaya Kirim (shipping) – Jika pada kasus penjualan umum (tunai atau kredit) ongkos kirim bisa dibebankan langsung, pada konsinyasi TIDAK BISA (karena pengiriman dari gudang ke toko konsinyasi dianggap hanya perpindahan lokasi barang, bukan penjualan). Ongkos kirim tersebut diakui sebagai bagian dari “Persediaan Dikonsinyasikan”, hanya saja ditambahi keterangan “ongkos kirim”, sehingga nama akunnya menjadi “Persediaan Dikonsinyasikan – Ongkos Kirim”). Misalnya: Jika ongkos pengiriman 50 pcs T-shirt ke Toko gaul Rp 250,000, maka anda mengankui “Persediaan Dikonsinyasikan – Ongkos Kirim” sebesar Rp 250,000.
- Komisi penjualan (sales commission) – Bila konsinyasi dilakukan dengan memberi imbalan berupa komisi, maka pada saat toko berhasil menjual berhak atas komisi. Komisi yang diberikan untuk toko diakui sebagai “Biaya Komisi” pada saat penjualan terjadi. Misalnya: Pada contoh kasus sebelumnya. Jika imbalan konsinyasi untuk Toko Gaul berupa komisi 20%, maka anda mengakui biaya komisi penjualan sebesar Rp 380,000 (=1,900,000 x 20%) pada tanggal 25 Oktober 2022.
- Biaya Penggunaan Credit Card (credit card processing fee) – Pada toko-toko retail, menerima pembayaran credit card adalah salah satu strategy untuk meningkatkan penjualan. Hanya saja ada biaya yang yang harus ditanggung, yaitu credit card processing fee yang dikenakan oleh bank penyedia fasilitas. Tergantung kesepakatan konsinyasi; bila ada penjualan dengan credit card siapa yang menanggung credit card fee-nya? Bila yang menanggung adalah pemilik barang, maka credit card processing fee diakui sebagai bagian dari harga pokok penjualan. Misalnya: Jika penjualan pada tanggal 25 Oktober 2022 senilai Rp 1,900,000 berupa penjualan via credit card, maka anda mengakui credit card processing fee sebesar Rp 38,000 (=1,900,000 x 2%) sebagai Harga Pokok Penjualan.
- Barang Hilang atau Rusak Di Tempat Konsinyasi – Pada umumnya, kerusakan dan kehilangan barang konsinyasi menjadi tanggungjawab pemilik barang. Barang hilang atau rusak tanpa bisa diperbaiki diakui sebagai “Rugi atas Persediaan Hilang/Rusak” sebesar Harga Pokok Penjualan barang, pada periode kehilangan/kerusakan diketahui. Misalnya: pada tanggal 28 Oktober 2022 Toko Gaul melaporkan adanya 3 pcs T-shirt hilang. Atas kehilangan tersebut diakui sebagai “Rugi – Persediaan Hilang” sebesar Rp 150,000 (=50,000 x 3 pcs).
Ke halaman Selanjutnya (Penjualan Konsinyasi Dilihat Dari Aspek Pajak) ……..
Pages: 1 2