Frekuensi Dalam Musik, Apa dan Bagaimana

Frekuensi Dalam Musik, Apa dan Bagaimana ?

Frekuensi Dalam Musik – Siapa yang pernah melupakan lagu-lagu masa kecil dulu. Sebut saja “Cicak-Cicak”, “Pelangi-Pelangi”, “Balonku”, “Naik-naik ke Puncak Gunung”, “Topi Saya Bundar”, dll. Diyakinkah pada semua orang tak ada yang pernah melupakannya meskipun sudah dimakan oleh jaman dan derunya musik-musik masa kini.

Mengapa bisa begitu kuat menempel di ingatan kita ?

Jawabannya tidak lain adalah karena frekuensi melodi lagu-lagu tersebut sangat sederhana dan sangat kuat struktur bangunannya. Apalagi lagu-lagu tersebut memang dibuat singkat dengan lirik-lirik sederhana. Ditengarai dari berbagai referensi yang ada, anak-anak usia 3 – 5 tahun masa hebat-hebatnya otak manusia merekam semua, dimana kreativitas mulai berkembang teramat dahsyat.

Pernahkah Anda memperhatikan bagaimana anak-anak di usia itu mampu menyanyikan lagu-lagu dewasa, berbahasa asing sekalipun, meskipun mereka tidak tahu makna dari lirik yang mereka nyanyikan. Gemas, lucu, rasanya melihat tingkah polah anak-anak itu.

Tanpa disadari, di sana ukuran-ukuran frekuensi nada-nada tertanam kuat. Otak kanan bekerja merasakan tinggi-rendahnya nada. Lalu otak kiri menerjemahkan menjadi ukuran-ukuran yang tepat. Juga tak sedikit peran orang tua menanamkan frekuensi itu dengan menyanyikan nina bobo untuk menidurkan anaknya.

Mari kita coba eja dan nyanyikan kembali lagu ”Alphabet” yang mengedukasi anak-anak seperti berikut”

1 35 5665 —  4433 2 2 1 —55443 32 —  1 3 5 5 1

ABCDEFG — HIJKLMN – OPQRSTU — VWXYZ

Apa yang sebenarnya terjadi ?

Itulah frekuensi yang sedang bekerja dan mencoba mengukur besarannya, merayap dalam benak memori. Ada nada rendah dan tinggi, bergerak-gerak membentuk gelombang musikal yang bernama melodi. Bisa dibayangkan, bagaimana seseorang berusaha mengukur tinggi rendah nada dibunyikan ketika menirukan nyanyian-nyanyian. Peranan ukuran-ukuran frekuensi itulah yang bekerja, mencari dan membentuk gelombang abstrak.

Kebiasaan mendengar musik yang terus menerus dapat membantu pembentukan frekuensi nada. Istilah ”Fals” dalam bernyanyi adalah salah satu akibat dari minimnya seseorang bersentuhan dengan musik. Bahkan keabstrakan cenderung hilang. Yang lebih diprihatinkan adalah alam khayal mati suri.

Pernah selintas membaca artikel dari berbagai hasil riset, termasuk di sebuah buku terkenal ”Efek Mozart”, musik dinyatakan sebagai salah satu instrumen yang turut menciptakan pengembangan kecerdasan manusia. Benarkah?

Mungkin logika sederhananya adalah dimana frekuensi berbunyi dan mengalir ke telinga, frekuensi dalam musik tersebut mengalir ke otak kanan yang mampu merasakan sebagai wujud yang abstrak. Sinyalnya mengalir ke otak kiri, dan direkam sebagai suatu besaran. Jika ia harus membunyikan nada-nada tersebut, pastilah dikirim frequensi yang tepat dari otak kiri untuk diterjemahkan kembali oleh otak kanan.

Frekuensi dan Rasa

Sepanjang manusia memiliki perbendaharaan mendengar musik yang melodik, yakinlah bahwa frekuensi-frekuensi tersebut mendorong berkembangnya kemampuan otak kiri, karena otak kiri dialiri sesuatu yang abstrak. Bukankah kita masih membutuhkan ruang abstrak itu?

Sepanjang mengalami menjadi musisi sekaligus seorang pendidik musik, hipotesis penulis menemukan persoalan frekuensi dalam musik ini dihubungkan dengan rasa menjadi 3 bagian :

  1. Frekuensi Tinggi (High Freq).

Mendengar bunyi-bunyi yang dihasilkan instrumen musik atau suara lainnya berfrekuensi tinggi dapat menyebabkan denyut jantung lebih cepat. Darah yang memasuki otak lebih kuat, sehingga mengakibatkan perasaan menjadi lebih terbuka, terang, dan pikiran lebih tajam.

Contoh : Cymbal, Violin, Terumpet, Lead Guitar, dll

  1. Frekuensi Menengah (Mid Freq)

Di kisaran frekuensi menengah membuat aliran darah lebih tenang dan stabil. Mendengar musik lebih sejuk dan tenang.

Contoh : Vocal, Gitar, Flute, Cello, Clarinet, dll

  1. Frekueni Rendah (Low Freq)

Mendengar bunyi-bunyi berfrekuensi bawah atau rendah mengakibatkan denyut jantung kita kurang stabil. Akibatnya perasaan kita dihentakkan dengan pikiran yang liar, kacau.

Contoh : Bass, Kick Drums, Tuba, dll.

 

Mengapa musik Rock seringkali dihubungkan dengan berisik, hingar bingar (kata orang tua), dihubungkan dengan histeria para penggemar musik ini (anak muda), dan seterusnya…? (saya lebih berpendapat bersemangat) Lengkingan gitar elektrik yang sangat kuat, apalagi dibantu dengan sound efeks ”Distorsi” (pecah), itulah yang mendorong kekuatan musik ini.

Pada nada rendah, lengkingan gitar distorsi dihentak sangat kuat. Kekuatannya mampu mengobrak-abrik perasaan. Oleh sebab itu musik ini lebih dekat dengan remaja atau anak muda. Mereka bersemangat melompat-lompat tanpa harus mengerti mengapa.

Mengapa para penyanyi sering lakukan jumping not, melengking ke nada tinggi. Meningkatnya nada dengan tiba-tiba itulah yang akan memacu andrenalin. Dan bulu kuduk kita tak terasa ikut berdiri.

Mengapa musik orchestra mampu mengharubirukan perasaan penonton. Bukan karena kehebatan pemainnya. Komposisi musik klasik orchestra dengan barisan instrumen violin mengiris-iris perasaan pendengarnya. Semakin banyak violin players, semakin kuat tekanan emosinya.

Mengapa kita merasa tenang mendengarkan musik pop yang mendayu-dayu. Ya.. karena wilayah frekuensi ada di kisaran medium frequensi.

Jadi paparan di atas kiranya hanya sekedar berbagi informasi bagaimana pentingnya bagi seorang musisi, arranger dan komposer memahami frekuensi dalam musik. Kepastian dari ilustrasi di atas masih harus diteliti lebih serius jika memang akan dijadikan dasar keilmuan. (maglearning.id)

Loading...

Tinggalkan Balasan