ASAL MULA MENGAPA KEMAMPUAN SESEORANG HANYA DIUKUR DARI SISI KOGNITIF DALAM DUNIA KERJA DAN PENDIDIKAN

Kata “kemampuan” dalam pendidikan sangat sering dikaitkan dengan hasil belajar. Walaupun begitu, “kemampuan” tidak selalu mengacu pada hal yang sama. Jika seorang guru menggambarkan siswanya sebagai siswa yang “mampu” itu bisa berarti bahwa siswa itu cerdas, cakap, dewasa, atau fokus. Lain lagi bila seorang pelatih olahraga membagi beberapa siswanya ke dalam kelompok kemampuan, ini biasanya mencerminkan tingkat kinerja mereka saat ini, daripada kemampuan fisiologis mereka dalam olahraga itu. Dalam percakapan umum di masyarakat, orang-orang mungkin berbicara tentang kemampuan anak muda untuk berempati, kemandirian, kreatifitas atau bagaimana kecerdasan emosional mereka.

Beberapa orang menganggap kemampuan merupakan bawaan atau bakat. Mereka percaya bahwa individu tertentu memiliki tingkat kemampuan bawaan yang lebih besar daripada yang lain, misalnya kemampuan matematika atau melukis. Thomas Edison berpendapat bahwa kemampuan hanyalah salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang sehari-hari. Usaha, motivasi, fokus, kepribadian, dan suasana hati semuanya dapat memiliki pengaruh dan peran sendiri-sendiri. Dengan demikian kemampuan dapat digambarkan sebagai kapasitas saat ini yang membatasi efek seberapa baik kinerja individu dapat melakukan sesuatu dibandingkan dengan orang lain.

Dalam beberapa penelitian kata-kata kemampuan dan kecerdasan digunakan bergantian. Fakta ini menunjukkan bahwa tidak ada teori atau definisi kecerdasan yang universal. Ketika beberapa orang berbicara tentang kecerdasan yang mereka maksud sebenarnya adala faktor-faktor umum kecerdasan yang pada dasarnya dikonstruksi dari pengamatan statistik. Dimana pengamatan kinerja seseorang cenderung berkorelasi di berbagai tes dan tugas yang berbeda. Beberapa psikolog membedakan kecerdasan sebagai potensi dasar yang sangat umum dan pengetahuan serta keterampilan yang relevan secara budaya. Kelompok psikolog lain melihat kecerdasan dalam hal kemampuan mental individu seperti kecerdasan kreatif, sosial dan praktis. Namun menggunakan istilah ‘kecerdasan’ dan ‘kemampuan’ juga mungkin tidak selalu berarti hal yang sama.

Pada kesempatan kali ini kita akan mengupas lebih dalam mengenai kecerdasan. Pada sisi definisi, sudah pasti tidak ada definisi kecerdasan tunggal/universal seperti telah disinggung di awal. Namun, ketika banyak definisi dari peneliti yang berbeda dikompilasi ada semacam kesepakatan umum bahwa kecerdasan sangat terkait dengan kapasitas untuk:

  • belajar dengan cepat;
  • pemecahan masalah secara efektif;
  • beradaptasi secara berhasil di suatu lingkungan.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, para psikolog berbeda pendapat mengenai apakah kecerdasan mencerminkan kapasitas tunggal atau ganda dan apakah hanya dari terkait pada kemampuan kognitif atau juga mencakup kemampuan non-kognitif.

Terlepas dari beberapa perbedaan di atas, para peneliti di Barat di masa lalu cenderung memandang kecerdasan sebagai sifat kognitif murni. Ini merupakan perspektif akademis tradisional dan menjelaskan mengapa banyak tes kecerdasan dirancang untuk menilai keterampilan kognitif saja, seperti kemampuan memecahkan masalah, kemampuan verbal dan matematika. Pada tahun 1904, Charles Spearman menerbitkan makalah seminarnya yang menguraikan efek “positive manifold”, hubungan positif antara kinerja siswa pada tes yang tampaknya tidak berhubungan (Spearman, 1970). Menggunakan teknik statistik yang dikembangkan dari analisis faktor, Spearman kemudian menunjukkan bahwa tampaknya ada faktor umum yang berkontribusi terhadap variasi dalam kinerja di tes ini, yang ia sebut g (faktor umum kecerdasan). Tak lama kemudian, Binet dan Simon mengembangkan tes kecerdasan standar pertama. Tes ini dirancang untuk mengidentifikasi siswa sekolah yang membutuhkan dukungan akademik tambahan. Tes-tes ini berfokus pada penilaian kemampuan akademik. Jadi sejak awal, langkah-langkah dan tes kecerdasan memberi bobot pada keterampilan kognitif yang disukai oleh sistem pendidikan Barat daripada kualitas praktis, kreatif atau interpersonal.

Sampai di sini kita memahami bagaimana asal mula tes-tes kemampuan akademik dikembangkan dan banyak digunakan sampai sekarang. Pandangan Barat tentang kecerdasan yang dominan kognitif juga dapat mencerminkan hierarki sosial ekonomi kita, yang secara finansial lebih menghargai aktivitas profesional daripada tenaga kerja manual yang terampil. Namun, dalam komunitas pedesaan dan budaya non-Barat, orang sering melihat keterampilan praktis atau sosial sebagai aspek penting dari kecerdasan.

Sternberg dan Okagaki (1993) telah menunjukkan perbedaan pandangan di antara orang tua dari budaya yang berbeda. Mereka secara langsung meminta kelompok yang beretnis beragam yang terdiri dari 359 orang tua untuk menilai karakteristik yang mereka kaitkan dengan kecerdasan pada siswa kelas satu. Orang tua Inggris-Amerika menilai keterampilan kognitif (kemampuan memecahkan masalah, kemampuan verbal dan kreatif) sama atau lebih penting daripada keterampilan non-kognitif (motivasi, manajemen diri dan keterampilan sosial). Namun, orang tua Kamboja, Filipina, dan Vietnam menilai keterampilan non-kognitif sama atau lebih penting. Orang tua dari budaya ini menganggap keterampilan praktis dan sosial sebagai aspek fundamental dari kecerdasan.

Sternberg dkk. (1981) menunjukkan hal ini ketika mereka membandingkan pandangan konsepsi kecerdasan ini dari sampel 122 masyarakat awam dan 144 pakar akademis. Baik para ahli maupun masyarakat awam menganggap keterampilan memecahkan masalah dan kemampuan verbal mencerminkan kecerdasan akademis. Namun, masyarakat awam juga menekankan keterampilan sosial sebagai aspek kecerdasan sedangkan akademisi lebih menekankan pada motivasi. Dalam kombinasi dengan survei yang lebih luas yang mereka lakukan, penelitian ini menunjukkan bahwa para ahli akademis mungkin kurang mempertimbangkan aspek sosial kecerdasan daripada masyarakat awam. Karena akademisi yang mendefinisikan kecerdasan untuk tujuan penelitian, ini juga bisa menjelaskan mengapa banyak teori dan tes kecerdasan berfokus sangat sempit pada keterampilan kognitif.

Beberapa psikolog Barat ada yang mempunyai pandangan yang lebih luas, misalnya Philip Vernon (1961), ia mengusulkan bahwa, setelah memperhitungkan kecerdasan umum (g), struktur kecerdasan dapat dibagi menjadi dua bidang utama yaitu: v:ed, kemampuan verbal dan pendidikan; dan k:m, kemampuan spasial, praktis, dan mekanis. Psikolog Amerika David Lubinski (2009) sangat meyakini peran yang lebih besar yang dimainkan kemampuan spasial dalam pekerjaan tertentu. Pada data longitudinal dari sebuah penelitian terhadap lebih dari 400.000 siswa Amerika yang menyelesaikan pengukuran kemampuan matematika, verbal dan spasial serta minat, hobi dan informasi latar belakang. Data pertama dikumpulkan pada 1960-an ketika murid berusia 14-18 tahun, dengan informasi lebih lanjut tentang pendidikan dan pekerjaan mereka direkam 1, 5 dan 11 tahun kemudian. Siswa dengan kemampuan spasial yang kuat menunjukkan pola yang berbeda dari hasil pendidikan dan pekerjaan: mereka lebih cenderung tidak melanjutkan pendidikan setelah SMA daripada mereka yang memiliki kemampuan verbal yang tinggi, tetapi jika mereka melanjutkan ke pendidikan tinggi, mereka tampaknya tertarik pada STEM (Sains, Teknologi, Mata pelajaran Rekayasa, Matematika). Sedangkan mereka yang mempelajari seni dan humaniora memiliki kemampuan verbal dan matematika yang relatif lebih tinggi. Empat puluh lima persen individu dengan gelar doktor dalam mata pelajaran STEM berada di peringkat 4% teratas dari kemampuan spasial, namun kemampuan ini jarang digunakan dalam pelajaran sekolah atau diukur dalam tes standar.

Beberapa peneliti seperti J.P. Guilford, Howard Gardner, Stephen Ceci dan Robert Sternberg memasukkan keterampilan non-kognitif dalam teori kecerdasan mereka. Teori Multiple Intelligences (MI Theory) Howard Gadner tentang dimulai dengan tujuh kecerdasan dan sekarang telah diperluas menjadi sembilan yaitu:

  • Visual / spasial
  • Tubuh / kinestetik
  • Intrapersonal
  • Interpersonal
  • Matematika / logis
  • Verbal / linguistik
  • Naturalistik
  • Musikal / ritmis
  • Eksistensialis

Gardner mengembangkan Teori MI sebagai reaksi terhadap pandangan akademis yang sempit tentang kecerdasan (g). Dia berpendapat bahwa masing-masing kecerdasan adalah independen, berdasarkan pada modul komputasi otonom di otak, sehingga seseorang tidak sesimpel cerdas atau tidak cerdas. Seseorang mungkin memiliki kecerdasan musik yang rendah tetapi kecerdasan verbal yang tinggi, yang lain mungkin memiliki kecerdasan interpersonal yang tinggi tetapi kecerdasan matematika yang rendah. Teori ini sangat populer di kalangan pendidik karena ia mengakui dan menghargai keragaman, alih-alih mendukung kinerja akademik dengan mengorbankan bakat-bakat lain.

Namun demikian, Teori Multiple Intelligences juga tidak terlepas dari banyak kritik. Pertama, harus ada bukti empiris minimal untuk mendukung Teori MI, sedangkan teori-teori alternatif seperti Spearman didasarkan pada bukti kuat. Baru-baru ini, ada upaya untuk mengukur kecerdasan yang berbeda dan menguji apakah kecerdasan-kecerdasan itu independen. Visser dkk  berpendapat bahwa ada beberapa variasi umum dalam kinerja lintas ukuran kecerdasan individu dan karena itu MI lebih baik dilihat sebagai bakat, didukung sebagian oleh faktor umum. Demikian pula, Waterhouse berpendapat bahwa hampir tidak mungkin untuk menguji setiap kecerdasan secara individual karena, misalnya, menunjukkan keterampilan naturalistik seperti pelabelan, pengelompokan dan objek konseptualisasi bergantung pada setidaknya empat kecerdasan: naturalistik, verbal, spasial visual dan interpersonal.

Dalam beberapa hal, seseorang dapat melihat ini sebagai masalah semantik: apakah seseorang membatasi definisi kecerdasan pada ranah kognitif (juga metakognitif) dan pada faktor umum atau apakah seseorang menggunakan istilah “kecerdasan” untuk merujuk pada berbagai karakteristik kognitif dan non-kognitif. Mungkin, seperti yang disarankan Visser dkk, akan lebih tepat untuk memberi label kesembilan keterampilan yang diidentifikasi oleh Gardner sebagai sesuatu selain “kecerdasan”. Namun, di luar perdebatan ini, ada baiknya mempertimbangkan bagaimana peserta didik dapat dipengaruhi dalam dibingkai kecerdasan dan kemampuan yang telah ditentukan. Cara orang dewasa mencirikan kemampuan sebenarnya dapat memengaruhi strategi pembelajaran yang digunakan siswa dan cara mereka merespons kegagalan. Siswa yang lemah dalam mata pelajaran akademik murni dapat dengan mudah percaya bahwa mereka “tidak cerdas” dan karenanya cenderung gagal dalam pendidikan. Namun dalam bingkai Multiple Intelligences Theory menawarkan kerangka kerja untuk menantang keyakinan ini dan mendorong anak-anak untuk menghargai keterampilan alternatif, bisa jadi ini sangat bermanfaat, walaupun tidak didukung oleh bukti empiris yang kuat. (maglearning.id)

Referensi:

Okagaki, L., & Sternberg, R. J. (1993). Parental Beliefs and Children’s School Performance. Child Development, 64(1), 36. http://doi.org/10.2307/1131436

Spearman, C. (Charles). (1970). The abilities of man : their nature and measurement. AMS Press.

Sternberg, R. J., Conway, B. E., Ketron, J. L., & Bernstein, M. (1981). People’s conceptions of intelligence. Journal of Personality and Social Psychology, 41(1), 37–55. http://doi.org/10.1037/0022-3514.41.1.37

Vernon, P. E. (1961). The structure of human abilities. Methuen.

Wai, J., Lubinski, D., & Benbow, C. P. (2009). Spatial Ability for STEM Domains: Aligning Over 50 Years of Cumulative Psychological Knowledge Solidifies Its Importance, 101(4), 817–835. http://doi.org/10.1037/a0016127

Loading...